Masih ingat film Blood Diamond (2006) yang dibintangi Leonardo DiCaprio? Ya, film yang bercerita mengenai berlian dan perang saudara di Sierra Leone, Afrika di tahun 1999. Film ini secara pas mencoba memotret isu perdagangan gelap berlian guna mendanai konflik antara pihak pemerintah dan pemberontak.
Sebagai daerah yang banyak memiliki kandungan berlian di perut buminya, Afrika sejak lama memang menjadi ajang konflik kepentingan. Eksploitasi tambang berlian sudah sejak lama dilakukan negara Barat, bahkan hingga kini. Akibatnya, meski dikaruniai kekayaan berupa tambang berlian yang melimpah, hasil penjualan berlian tidak berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat Afrika. Yang ada justru konflik berkepanjangan.
Barulah ketika di tahun 2000 Dewan Keamanan (DK) PBB turun tangan untuk memutus sumber pembiayaan perang, konflik dapat diredakan. Saat itu DK PBB berinisiatif mengumpulkan negara-negara penghasil berlian di Kimberley Afrika Selatan guna membicarakan penghentian perdagangan gelap berlian. Konsumen juga diyakinkan untuk tidak membeli berlian yang tidak jelas asal usulnya.
Untuk mengetahui asal usul berlian, Sidang Umum PBB tahun 2000 mengadopsi resolusi untuk membentuk skema sertifikasi internasional yang disebut Kimberley Process Certification Scheme (KPCS). Di dalam KPCS disepakati bahwa perdagangan berlian yang belum diolah diatur oleh negara, organisasi kawasan dan organisasi terkait lainnya. KPCS menerapkan persyaratan ketat bagi anggotanya agar mengawasi dan mencegah berlian bermasalah memasuki pasar resmi. Untuk itu para anggota KPCS (termasuk Indonesia yang menjadi anggota sejak 1 Agustus 2005) diminta untuk melaksanakan kontrol internal dan semua penjualan berlian yang belum diolah harus disertai sertifikat mengenai asal usul berlian.
Guna meyakinkan kebenaran proses sertifikasi dan menghentikan perdagangan berlian di kawasan konflik, berbagai pihak terkait seperti anggota KPCS, kalangan industri dan masyarakat madani bekerjasama dalam kelompok-kelompok kerja untuk melakukan pengawasan, mendata statistik perdagangan berlian dan melakukan pengujian terhadap berlian. Sejauh ini mekanisme di dalam KPCS terbukti bisa mengakhiri mimpi buruk di kawasan konflik berlian dan kedepannya hal tersebut diharapkan dapat terus berlanjut dengan baik.
Belajar dari sertifikasi dalam Kimberly Proses, mekanisme serupa dapat pula diterapkan dalam perdagangan produk sumber daya alam lainnya seperti kayu. Sejauh ini proses sertifikasi kayu memang telah mulai diupayakan oleh berbagai negara penghasil kayu seperti Indonesia. Namun tampaknya belum terdapat suatu perjanjian internasional yang dapat mengikat banyak negara. Indonesia sendiri, guna mencegah perdagangan kayu ilegal ke Uni Eropa (UE), saat ini tengah merundingkan perjanjian kerjasama dalam kerangka European Union Forest Law Enforcement Governance and Trade (EU FLEGT). Melalui mekanisme EU FLEGT ini diharapkan nantinya kayu-kayu yang diperdagangkan ke UE memiliki sertifikat yang secara jelas menerangkan asal usul kayu. Harapannya agar kayu-kayu Indonesia yang diselundupkan terlebih dahulu ke negara lain, misalnya ke Malaysia dan China, ditolak masuk ke pasar UE.
2 comments:
kayaknya di Indonesia sudah banyak peraturan mengenai perlindungan hutan. Tapi emang manusianya yang terlalu egois demi segepok uang.
dgn adanya peraturan, setidaknya ego manusia manusia dapat diarahkan sesuai kesepakatan yg diatur.
Post a Comment