Kasus kebakaran hutan yang asapnya sampai menyeberang ke negara tetangga Malaysia dan Singapura pada semester akhir tahun 2006, telah menjadi perhatian dunia. Indonesia disorot tidak mampu mengelola hutan dengan baik, yang antara lain tampak dari masih terus berlangsungnya penebangan liar dan perdagangan hasil hutan secara ilegal. Padahal diketahui secara umum bahwa kegiatan penebangan liar (illegal logging) dan perdagangan hasil hutan ilegal merupakan kegiatan yang tidak saja merusak hutan, tetapi juga mempengaruhi penghidupan masyarakat desa yang tergantung sepenuhnya kepada hasil hutan. Negara, selain dirugikan karena harus membenahi kembali lingkungan yang rusak, juga dirugikan secara ekonomi karena hilangnya cukai yang mestinya dapat diperoleh dari perdagangan hasil hutan.
Menyaksikan fenomena tersebut, Uni Eropa (UE) yang merupakan pengimpor kayu dan hasil hutan terbesar, tampaknya menyadari akibat yang ditimbulkannya, terutama dampak global yang muncul jika pengelolaan hutan dan kegiatan perdagangan hasil hutan tidak dikelola dengan baik. Selain itu, sebagai importir kayu dan hasil hutan, UE tampaknya tidak ingin dituduh memanfaatkan keuntungan dari ketidakberesan pengelolaan hutan di negara-negara berkembang.
Untuk itu UE kemudian muncul dengan FLEGT (Forest Law Enforcement, Governance and Trade atau Penegakan Hukum di Bidang Kehutanan, Tata Kelola dan Perdagangan), untuk menunjukkan kepeduliannya dalam mendorong pengelolaan hutan secara baik, seperti yang telah dilakukan oleh UE. Dalam FLEGT, UE menyebutkan antara lain bahwa kelemahan pengelolaan hutan disebabkan karena hukum dan peraturan yang mengatur pengusahaan hutan tidak dapat bersaing dengan kayu murah hasil penebangan liar, sehingga memunculkan distorsi yang amat besar bagi perdagangan kayu dan merusak bisnis perkayuan yang legal, baik diantara negara-negara UE sendiri maupun negara produsen kayu.
Karenanya pemberantasan penebangan liar dan perdagang hasil hutan ilegal dilakukan komprehensif mulai dari hulu sampai hilir, seperti yang tercantum dalam rencana aksi FLEGT yang meliputi:
- dukungan untuk meningkatkan tata kelola dan meningkatkan kapasitas negara-negara produsen.
- pengembangan Perjanjian Kemitraan Sukarela (Voluntary Partnership Agreement) dengan negara-negara produsen kayu untuk mencegah hasil produk kayu ilegal memasuki pasar UE.
- upaya untuk mengurangi konsumsi kayu ilegal oleh negara-negara UE dan mencegah investasi oleh badan-badan atau institusi-institusi yang di negara-negara UE yang mungkin mendorong terjadinya penebangan liar.
Dari rencana aksi FLEGT ini, tampak bahwa UE berupaya untuk mengedepankan kerja sama dengan berbagai pihak, terutama negara produsen kayu. Kerjasama dengan negara-negara produsen dilakukan melalui upaya peningkatan kapasitas dan mendorong disepakatinya perjanjian bilateral dan multilateral. Ke dalam, UE mendorong negara-negara anggotanya untuk tidak membeli hasil hutan ilegal, meski harganya murah.
Indonesia, sebagai negara produsen kayu tropis terbesar ketiga didunia setelah Brasil dan Kongo, yang selalu disorot karena seringnya terjadi kebakaran hutan juga telah memanfaatkan peluang kerjasama melalui FLEGT. Siaran pers Departemen Kehutanan menyebutkan adanya kerjasama Pemerintah Indonesia dengan Komisi Eropa untuk menanggulangi krisis di sektor kehutanan yang semakin kompleks. Kerjasama tersebut diwujudkan dalam sebuah proyek, yaitu “European Commission – Indonesia FLEGT Support Project” yang tujuannya mendukung dan mendorong Pemerintah Indonesia, sektor swasta, dan masyarakat madani untuk menciptakan kondisi yang kondusif dalam rangka menekan perdagangan kayu-kayu ilegal dan praktek-praktek pengelolaan hutan yang tidak menggunakan prinsip-prinsip kelestarian.
Hal terpenting yang dapat dicatat dari kerjasama ini adalah keberhasilan meyakinkan pihak UE sebagai konsumen, untuk ikut bertanggung jawab secara moral terhadap kerusakan hutan di Indonesia, terutama yang diakibatkan oleh pencurian kayu dan perdagangan kayu liar. Keberhasilan untuk memberikan tekanan moral tampaknya akan segera ditindaklanjuti dengan memulai perundingan Perjanjian Kemitraan Sukarela dengan UE.
Meski didahului Malaysia yang telah memulai perundingan mengenai Perjanjian Kemitraan Sukarela pada pertengahan tahun 2006 lalu, indikasi untuk memulai perundingan merupakan suatu hal yang positif dalam upaya untuk lebih meningkatkan kerjasama dan pengelolaan sektor kehutanan dengan pihak UE. Selain itu dapat lebih memberi tekanan kepada pelaku penebangan liar dan perdagangan kayu dan hasil hutan ilegal, untuk tidak kembali mengulangi tindakannya yang melanggar hukum.
No comments:
Post a Comment