18.12.07

Uni Eropa Pasca Lisbon 2007

Proses integrasi masyarakat Eropa kembali memasuki babakan baru saat para pemimpin dari 27 negara anggota Uni Eropa (UE) berkumpul di Lisbon, Portugal, 13 Desember 2007. Dalam acara yang digelar di Biara Jeronimos yang dibangun pada abad ke-16 dan diiringi lagu kebangsaan UE Ode to Joy, sebanyak 26 pemimpin negara anggota UE satu persatu menandatangani Perjanjian Lisbon. Sementara Perdana Menteri Inggris Gordon Brown menandatangani perjanjian di ruang terpisah

Kesumringahan menghiasi wajah para pemimpin UE saat berfoto bersama dihadapan para wartawan dan juru foto yang meliput upacara tersebut. Perdana Menteri Portugal Jose Socrates yang menjabat Presidensi UE saat ini, sekaligus tuan rumah pertemuan mengungkapkan kegembiraannya dengan menyebut Perjanjian Lisbon sebagai perjanjian yang memiliki pandangan jauh kedepan dan menjadi impian banyak lapisan masyarakat. Sementara Presiden Perancis Nikolas Sarkozy, yang masyarakatnya menolak rancangan Konstitusi UE terdahulu, menyatakan bahwa perjanjian Lisbon merupakan solusi bagi Eropa dalam menentukan langkah maju selanjutnya.

Wajar kalau para pemimpin negara anggota UE merasa gembira, karena melalui penandatanganan ini berakhirlah ketidakpastian mengenai masa depan UE pasca penolakan rancangan Konstitusi oleh masyarakat Perancis dan Belanda pada tahun 2005. Dengan adanya perjanjian ini, untuk pertama kalinya negara-negara Eropa, yang dulunya terpisah saat perang dingin, bersatu dan memiliki perjanjian tunggal yang dirundingkan bersama-sama. Perjanjian tersebut juga menegaskan wilayah UE yang luas terbentang dari kawasan Mediterania hingga Baltik serta dari Laut Atlantik ke Laut Hitam.

Dengan telah ditandatanganinya Perjanjian Lisbon, proses selanjutnya adalah ratifikasi oleh parlemen nasional negara anggota UE, kecuali Irlandia yang sesuai Konstitusinya diharuskan melakukan referendum. Proses ratifikasi akan dilaksanakan segera mulai awal tahun 2008 dan diharapkan pada pertengahan tahun 2009 perjanjian tersebut sudah dapat dilaksanakan.
Secara garis besar terdapat beberapa hal penting yang diatur dalam Perjanjian Lisbon tersebut, antara lain:


1. Dipilihnya Presiden tetap UE untuk masa jabatan selama 2,5 tahun. Jabatan Presiden tetap UE ini menggantikan sistem Presidensi UE selama ini, yang dijabat secara bergiliran oleh setiap negara anggota UE untuk periode 6 bulan.

2. Dibentuknya Perwakilan Tinggi UE yang menangani kebijakan luar negeri UE. Jabatan ini menggabungkan tugas-tugas Perwakilan Tinggi mengenai masalah luar negeri UE yang terdapat di Dewan UE dan Komisioner Hubungan Luar Negeri di Komisi Eropa. Semacam kementerian luar negeri pada suatu negara.

3. Diperkenankannya pengambilan keputusan melalui voting yang menyangkut ketentuan UE, terutama yang terkait dengan masalah peradilan dan keamanan.

4. Diberikannya kewenangan yang lebih besar kepada Parlemen Eropa dan parlemen nasional dalam proses pembuatan kebijakan UE.

5. Dikuranginya jabatan komisioner dari 27 menjadi 15 pada tahun 2014.

6. Disiapkannya exit clause yang memungkinkan setiap negara anggotanya keluar dari UE.

Dari pengaturan seperti tersebut di atas, terlihat kesungguhan UE untuk menuntaskan proses integrasi kawasan baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, UE berupaya membenahi masalah kelembagaan melalui pengaturan lembaga ”eksekutif” dengan menetapkan sistem Presidensi Tetap dan ”Kementerian Luar Negeri (Kemlu)”, pemberian kewenangan yang lebih besar kepada parlemen dan efesiensi kelembagaan melalui pengurangan jabatan komisioner.

Dengan ditentukannya seorang Presiden yang bersifat tetap, semua kebijakan UE dalam kurun waktu 2,5 tahun akan dikoordinasikan oleh presiden terpilih. Selain itu, Presiden Tetap UE juga akan memimpin setiap pertemuan Kepala Negara (KTT) UE, dan mewakili setiap kepentingan UE keluar. Hal ini tentu saja berbeda dengan sistem rotasi presidensi selama ini, dimana setiap 6 bulan sekali dilakukan pergantian kepemimpinan di UE. Karenanya tiap 6 bulan berganti kepemimpinan, maka setiap 6 bulan pula fokus kebijakan UE selalu berbeda, tergantung kepentingan setiap negara yang menjabat sebagai presiden.

Hal menarik lainnya adalah pembentukan Kemlu dan penunjukkan seorang menlu yang akan menangani masalah kebijakan luar negeri. Artinya, UE akan memiliki kebijakan luar negeri sendiri, selain kebijakan luar negeri negara anggotanya. Hal ini juga dapat diterjemahkan bahwa secara eksternal UE akan mempergunakan Kemlu UE sebagai mesin diplomasinya, disamping kemlu negara anggotanya. Bagi UE tentu saja akan sangat menguntungkan, baik dalam kerangka kerjasama bilateral maupun multilateral.

Dengan mulusnya proses penandatangan Perjanjian Lisbon, bukan berarti diperolehnya jaminan bahwa perjanjian tersebut akan disetujui oleh masyarakat anggotanya. Untuk itu, mencegah terjadinya penolakan, secara cerdik para pemimpin Eropa mengarahkan persetujuan perjanjian melalui proses ratifikasi di parlemen nasional. Langkah ini cukup beralasan, apalagi melihat cara Inggris menandatangani perjanjian yang tidak bersamaan dengan negara-negara lainnya. Hal ini dapat ditafsirkan sebagai keberatan sebagian masyarakat Inggris terhadap keterlibatan negaranya di dalam Perjanjian Lisbon. Karenanya, tidak mengherankan pula jika diatur pula exit clause untuk jaga-jaga seandainya saja ada negara anggota UE yang ingin mengundurkan diri.

No comments: