19.12.07

Yu Timah dan Hari Raya Kurban

Menjelang Idul Adha 1428H (2007), seorang teman semasa SMA dulu memforwardkan sebuah artikel mengenai Yu Timah dan keinginannya melaksanakan ibadah kurban, meski karena kemiskinannya yang bersangkutan tidak diwajibkan untuk melaksanakan ibadah tersebut. Artikel tersebut tidak menyebutkan siapa penulisnya, namun demikian tulisan tersebut cukup untuk mengingatkan mereka yang mampu untuk berkurban, menyantuni mereka yang bernasib kurang beruntung dan mungkin telah terpinggirkan.

Seorang Yu Timah, yang merupakan bagian dari 39 juta orang miskin di Indonesia, gigih menabung rupiah demi rupiah yang diperolehnya untuk membeli seekor kambing guna dikurbankan pada hari raya. Duitnya tidak dipergunakan untuk membeli barang-barang konsumtif. Yu Timah lebih memilih untuk berkurban dan berbagi suka terhadap mereka yang duka. Sementara kebanyakan orang yang mampu, justru terlalu banyak berpikir dalam berkurban. Bahkan ketika memutuskan untuk berkurban pun, kalau bisa memilih kambing atau sapi yang termurah dan kecil.

Padahal ketika jutaan orang melakukan wukuf di padang Arafah, sambil menyeru “Labbaik Allahuma Labbaik” (Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah), kita selalu diingatkan kembali untuk mengisi jiwa dengan kesediaan berkurban di sisi Allah, melandasi ibadah yang setiap hari kita kerjakan. Mengutip pesan Prof. Dr. Thaufic Boesoirie, Khotib sholat Idul Adha di KBRI Brussel (18/12), “ibadah kurban tidak hanya mengingatkan perlunya berkorban harta, waktu, dan pikiran saja, akan tetapi juga mengurangi rasa egoisme yang tega mengorbankan orang lain, serta berkorban untuk menahan diri dari sikap menghalalkan segala cara untuk mencapai sutau tujuan, yang secara sadar maupun tidak sadar, telah menjadi kebiasaan sebagian masyarakat kita”.

Aah rasanya kita memang perlu belajar dari orang-orang seperti Yu Timah dalam memaknai arti pengorbanan, memaknai perintah Allah SWT kepada Nabi Ibrahim AS untuk menyembelih putranya Nabi Ismail AS dan tentu saja menterjemahkannya dalam kehidupan keseharian. Dalam menterjemahkannya, kita mungkin tidak harus muluk-muluk. Langkah seperti Bangsari dengan program peminjaman kambing untuk anak-anak sekolah di Bangsari Bantarsari Cilacap misalnya, bisa dijadikan contoh untuk menuntaskan kemiskinan melalui peningkatan pendidikan. Bukankah pengetasan kemiskinan itu merupakan makna utama dari hari raya kurban?

kembali ke Yu Timah, anda pasti bertanya-tanya, siapa sich Yu Timah itu? Tanpa berpanjang kata, berikut saya copy pastekan cerita tentang Yu Timah tersebut:

Ini kisah tentang Yu Timah. Siapakah dia? Yu Timah adalah tetangga kami. Dia salah seorang penerima program Subsidi Langsung Tunai (SLT) yang kini sudah berakhir. Empat kali menerima SLT selama satu tahun jumlah uang yang diterima Yu Timah dari pemerintah sebesar Rp 1,2 juta. Yu Timah adalah penerima SLT yang sebenarnya. Maka rumahnya berlantai tanah, berdinding anyaman bambu, tak punya sumur sendiri. Bahkan status tanah yang di tempati gubuk Yu Timah adalah bukan milik sendiri.

Usia Yu Timah sekitar lima puluhan, berbadan kurus dan tidak menikah. Barangkali karena kondisi tubuhnya yang kurus, sangat miskin, ditambah yatim sejak kecil, maka Yu Timah tidak menarik lelaki manapun. Jadilah Yu Timah perawan tua hingga kini. Dia sebatang kara. Dulu setelah remaja Yu Timah bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta. Namun, seiring usianya yang terus meningkat, tenaga Yu Timah tidak laku di pasaran pembantu rumah tangga. Dia kembali ke kampung kami. Para tetangga bergotong royong membuatkan gubuk buat Yu Timah bersama emaknya yang sudah sangat renta. Gubuk itu didirikan di atas tanah tetangga yang bersedia menampung anak dan emak yang sangat miskin itu.

Meski hidupnya sangat miskin, Yu Timah ingin mandiri. Maka ia berjualan nasi bungkus. Pembeli tetapnya adalah para santri yang sedang mondok di pesantren kampung kami. Tentu hasilnya tak seberapa. Tapi Yu Timah bertahan. Dan nyatanya dia bisa hidup bertahun-tahun bersama emaknya. Setelah emaknya meninggal Yu Timah mengasuh seorang kemenakan. Dia biayai anak itu hingga tamat SD. Tapi ini zaman apa. Anak itu harus cari makan. Maka dia tersedot arus perdagangan pembantu rumah tangga dan lagi-lagi terdampar di Jakarta. Sudah empat tahun terakhir ini Yu Timah kembali hidup sebatang kara dan mencukupi kebutuhan hidupnya dengan berjualan nasi bungkus. Untung di kampung kami ada pesantren kecil. Para santrinya adalah anak-anak petani yang biasa makan nasi seperti yang dijual Yu Timah.

Kemarin Yu Timah datang ke rumah saya. Saya sudah mengira pasti dia mau bicara soal tabungan. Inilah hebatnya. Semiskin itu Yu Timah masih bisa menabung di bank perkreditan rakyat syariah di mana saya ikut jadi pengurus. Tapi Yu Timah tidak pernah mau datang ke kantor. Katanya, malu sebab dia orang miskin dan buta huruf. Dia menabung Rp 5.000 atau Rp 10 ribu setiap bulan. Namun setelah menjadi penerima SLT Yu Timah bisa setor tabungan hingga Rp 250 ribu. Dan sejak itu saya melihat Yu Timah memakai cincin emas. Yah, emas. Untuk orang seperti Yu Timah, setitik emas di jari adalah persoalan mengangkat harga diri. Saldo terakhir Yu Timah adalah Rp 650 ribu.

Yu Timah biasa duduk menjauh bila berhadapan dengan saya. Malah maunya bersimpuh di lantai, namun selalu saya cegah.
''Pak, saya mau mengambil tabungan,'' kata Yu Timah dengan suaranya yang kecil.
''O, tentu bisa. Tapi ini hari Sabtu dan sudah sore. Bank kita sudah tutup. Bagaimana bila Senin?''
''Senin juga tidak apa-apa. Saya tidak tergesa.''
''Mau ambil berapa?'' tanya saya.
''Enam ratus ribu, Pak.''
''Kok banyak sekali. Untuk apa, Yu?''
Yu Timah tidak segera menjawab. Menunduk, sambil tersenyum malu-malu.
''Saya mau beli kambing kurban, Pak. Kalau enam ratus ribu saya tambahi dengan uang saya yang di tangan, cukup untuk beli satu kambing.''
Saya tahu Yu Timah amat menunggu tanggapan saya. Bahkan dia mengulangi kata-katanya karena saya masih diam. Karena lama tidak memberikan tanggapan, mungkin Yu Timah mengira saya tidak akan memberikan uang tabungannya. Padahal saya lama terdiam karena sangat terkesan oleh keinginan Yu Timah membeli kambing kurban.
''Iya, Yu. Senin besok uang Yu Timah akan diberikan sebesar enam ratus ribu. Tapi Yu, sebenarnya kamu tidak wajib berkurban. Yu Timah bahkan wajib menerima kurban dari saudara-saudara kita yang lebih berada. Jadi, apakah niat Yu Timah benar-benar sudah bulat hendak membeli kambing kurban?''
''Iya Pak. Saya sudah bulat. Saya benar-benar ingin berkurban. Selama ini memang saya hanya jadi penerima. Namun sekarang saya ingin jadi pemberi daging kurban.''
''Baik, Yu. Besok uang kamu akan saya ambilkan di bank kita.''
Wajah Yu Timah benderang. Senyumnya ceria. Matanya berbinar. Lalu minta diri, dan dengan langkah-langkah panjang Yu Timah pulang.

Setelah Yu Timah pergi, saya termangu sendiri. Kapankah Yu Timah mendengar, mengerti, menghayati, lalu menginternalisasi ajaran kurban yang ditinggalkan oleh Kanjeng Nabi Ibrahim? Mengapa orang yang sangat awam itu bisa punya keikhlasan demikian tinggi sehingga rela mengurbankan hampir seluruh hartanya? Pertanyaan ini muncul karena umumnya ibadah haji yang biayanya mahal itu tidak mengubah watak orangnya. Mungkin saya juga begitu.

Ah, Yu Timah, saya jadi malu. Kamu yang belum naik haji, atau tidak akan pernah naik haji, namun kamu sudah jadi orang yang suka berkurban. Kamu sangat miskin, tapi uangmu tidak kaubelikan makanan, televisi, atau pakaian yang bagus. Uangmu malah kamu belikan kambing kurban. Ya, Yu Timah. Meski saya dilarang dokter makan daging kambing, tapi kali ini akan saya langgar. Saya ingin menikmati daging kambingmu yang sepertinya sudah berbau surga. Mudah-mudahan kamu mabrur sebelum kamu naik haji.

Keterangan foto: foto kambingnya Bangsari, diambil tanpa ijin ybs.

UPDATE:
Artikel mengenai Yu Timah ditulis oleh Ahmad Tohari (jadi ingat Genduk Dhuku dan Roro Mendut) dengan judul "Belum Haji Sudah Mabrur" dan dimuat di Republika tanggal 18 Desember 2007. Terima kasih untuk Adi di Riyadh atas infonya.

2 comments:

kw said...

terimakasih sharingnya mas...
mudah2an kita bisa meniru nya. :)

Anonymous said...

saya malah inget serintil jadinya