23.12.14

Netralitas dan Sentralitas ASEAN

 

Tulisan almarhum Taufik H, Mihardja di Kompas.com lebih dari 2 tahun yang lalu (tepatnya tanggal 23 November 2012) terasa kembali urgensinya saat ini ketika Indonesia memiliki perintahan baru dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). 

Dalam tulisannya yang dibuat menjelang KTT APEC di Kamboja terasa sekali nuansa mengenai perlunya netralitas dalam mengelola pengaruh politik yang makin kuat dan cenderung eksesif dari dua kekuatan Asia Pasifik, yakni Amerika Serikat dan Tiongkok. Menurut almarhum Taufik ditengah gelar perebutan pengaruh antara kedua raksasa tersebut, pada saat itu Indonesia memperlihatkan sikap politik luar negeri yang netral, tetapi sekaligus aktif bahkan proaktif ketika ASEAN bernegosiasi dengan kedua negara raksasa tersebut. Pertanyaan sekarang adalah, apakah saat ini Indonesia juga akan atau tengah mengambil langkah serupa dibawah Presiden Jokowi?



Berikut tulisan lengkapnya:
 

KOMPAS.com — Netralitas ASEAN mutlak. Sebab, dengan modal itulah ASEAN bisa mempertahankan sentralitasnya dalam mengelola pengaruh politik yang makin kuat dan cenderung eksesif dari dua kekuatan Asia Pasifik, yakni Amerika Serikat dan the new emerging superpower, China.
China, dengan keraksasaan ekonominya, bisa berbuat banyak hal terhadap negara-negara tetangganya di selatan, dan ini bukan hal baru. Sebab, sejak lama pengaruh China sangat kuat, misalnya di Kamboja, Laos, dan Myanmar—tiga negara anggota ASEAN.
Amerika Serikat, yang secara tradisional memiliki pengaruh kuat, terutama di Filipina, Thailand, dan Singapura, kini bahkan meningkatkan kehadirannya di kawasan Asia Tenggara ini. Hal ini ditunjukkan dengan kunjungan pertama dan bersejarah Presiden Barack Obama ke Myanmar serta ke Kamboja.
Kunjungan Obama ke kedua negara itu—yang mau tidak mau menyita perhatian media massa lokal dan internasional sehingga "menutup" gegapnya KTT ASEAN—dari perspektif politik ASEAN bisa menjadi poin menguntungkan. Sebaliknya, dari perspektif China, hal itu bisa dilihat sebagai pengikisan secara nyata pengaruh politik China.
Ke depan, gelar perebutan pengaruh antara kedua raksasa ini bisa semakin eksesif sehingga mengancam stabilitas dan mengganggu proses pemajuan ekonomi serta kesejahteraan rakyat di kawasan ini.
Maka, exercise dari politik luar negeri yang netral, tetapi sekaligus aktif, bahkan proaktif itulah yang tampaknya diperlihatkan Indonesia ketika ASEAN bernegosiasi dengan kedua raksasa di kawasan Asia Pasifik tersebut.
Praktik ini terlihat dari inisiatif Indonesia yang mengusulkan solusi tepat pada "perselisihan" antara China dan beberapa anggota ASEAN pada pembahasan tentang penanganan konflik di Laut China Selatan (LCS). Ini terjadi di Bali, Juli lalu, ataupun di Phnom Penh.
Indonesia melihat LCS memiliki potensi konflik militer berskala besar. Dan, jika hal ini tidak bisa dikelola dengan baik dan hati-hati, akan mengganggu kepentingan ekonomi secara nasional dan kawasan.
"Kita ingin ASEAN tetap kuat, dan kita ingin ASEAN tetap menjadi sentral kekuatan di kawasan ini. Itu ada syaratnya. Asal kita memiliki jarak yang sama terhadap kedua kekuatan itu. Kita juga harus aktif, bahkan proaktif. Tidak pasif," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika menjelaskan praktik diplomasi yang ia jalankan di KTT ASEAN dan KTT terkait di Kamboja pekan ini.
Beberapa catatan penting sudah ditorehkan dengan baik oleh ASEAN, terutama Indonesia, mengenai betapa penting dan berdaya ampuhnya aspek netralitas dan sentralitas ASEAN ini.
Misalnya, dalam mengegolkan perdamaian di Kamboja melalui serial pertemuan Cocktail Party, Jakarta Informal Meeting, sampai akhirnya menghasilkan Paris Accord. Lalu kebijakan political engagement ASEAN, yang menghela Myanmar ketika negeri itu diisolasi penuh oleh Barat. Sampai ke pembentukan forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik di Canberra saat almarhum Menlu Ali Alatas bersikukuh bahwa ASEAN harus menjadi sentralnya APEC.
Netralitas dan sentralitas ASEAN itu sekarang terasa betul dampaknya. Kamboja sudah terbebas dari perang saudara, bahkan ekonominya sedang menggeliat. Dan, dengan bangga serta penuh haru, Perdana Menteri Hun Sen menunjukkan kemampuan Kamboja menyelenggarakan event internasional sebesar Ini.
Myanmar juga sudah terbuka dan sedang menjalankan proses transformasi dan demokratisasi. AS bahkan menghadiahi proses di Myanmar itu dengan kunjungan langsung Presiden Obama.
APEC sudah dapat menjalankan mekanismenya secara reguler dan tetap mencerminkan aspek sentralitas ASEAN.
Namun, pekerjaan rumah ASEAN belum usai. Perebutan pengaruh kini justru semakin menguat, lebih dilatarbelakangi oleh kepentingan ekonomi dan investasi. China versus Jepang, China versus AS, serta Jepang versus Korea Selatan. Australia juga bergerak ingin menjadi Asia.
Maka, segala inisiatif harus diciptakan untuk menjamin terjaganya wilayah damai di kawasan ini, termasuk di wilayah Laut China Selatan.
Untuk itulah ASEAN sekarang berfokus pada upaya mewujudkan Masyarakat Ekonomi ASEAN akhir tahun 2015. Peluncurannya akan dilaksanakan di Malaysia karena negara itu pas sedang menjadi Ketua ASEAN.
Menjelang 2015, para pemimpin ASEAN juga mulai membuka negosiasi dengan enam negara mitranya di kawasan ini untuk mewujudkan semacam masyarakat ekonomi Asia Pasifik, yang akan melibatkan 3 miliar penduduk. Keenam negara itu adalah China, Jepang, Korea Selatan, India, Australia, dan Selandia Baru.
Di pihak lain, Amerika Serikat juga mengembangkan American Trans Pacific Partnership, yang antara lain telah melibatkan Australia, Selandia Baru, Malaysia, Brunei, Vietnam, dan Singapura.
Pada rangkaian KTT ke-21 ASEAN ini, ASEAN juga untuk pertama kalinya menyelenggarakan ASEAN Global Dialog, yang melibatkan ASEAN, negara mitra dialognya, serta lima badan dunia, yakni IMF, World Bank, ADB, UNTAD, dan WTO.
Dengan demikian, akan terbentuklah suatu arsitektur kawasan secara holistik, yang seharusnya mendorong dan sekaligus mempercepat kemajuan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di kawasan ini.
Maka, siapa pun pemimpin ASEAN ke depan harus melihat semuanya ini sebagai peluang. Dan, untuk itu ada syaratnya: netralitas dan sentralitas ASEAN!

No comments: