7.11.10

Semangat Sumpah Pemuda di Era Global

Di era global dewasa ini, dimana dunia telah berubah menjadi datar dan informasi dapat dikonsumsi tanpa dibatasi dimensi ruang dan waktu (Thomas L. Friedman, “The World is Flat”), apa sesungguhnya makna dari Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada tanggal 28 Oktober 1928?. Dengan arus globalisasi yang begitu cepat merasuk ke masyarakat, terutama kalangan generasi muda, nilai-nilai apa yang masih dapat dipetik dari semangat pemuda tahun 1928 dan tetap relevan di era global? Bagaimana pula menterjemahkan nasionalisme kebangsaan di era global?

Pertanyaan-pertanyaan seperti tersebut di atas selalu mengemuka menjelang dan saat dilaksanakannya peringatan sumpah pemuda. Dan pertanyaan-peranyaan tersebut juga mengemuka ketika Operator Telekomunikasi XL menggelar acara yang bertajuk “Soempah Pemoeda 2.0” di Gedung Museum Kebangkitan Nasional (eks gedung Stovia), jalan Abdulrahhman Saleh Raya, Jakarta, pada tanggal 28 Oktober 2010.


Dalam acara yang menghadirkan sejarawan Anhar Gonggong, Sosiolog Imam Prasodjo, Promotor music Andre Subono, Pemenang Indonesia Berprestasi Award Sudijanto dan Sutradara Film Iman Brotoseno serta dimoderatori oleh tokoh multitalen Jaya Suprana, isu mengenai nasionalisme kebangsaan dewasa ini dan kaitannya dengan semangat sumpah pemuda kembali mencuat. Hadir sebagai peserta adalah para blogger dan penggiat sosial media yang datang dari berbagai komunitas di seluruh Indonesia.

Mengawali perbincangan, Jaya Suprana dengan nakal mengomentari usia para pembicara yang hampir keseluruhannya bisa dibilang tidak lagi muda, kecuali mungkin Sudiyanto yang masih berusia dibawah 40 tahun. Komentar ini tentu saja mengundang gelak tawa dan senyum kecut dari sebagian besar blogger yang memang rata-rata anak-anak muda. Jaya Suprana seolah ingin menyentil bahwa bicara tentang semangat pemuda maka sebaiknya yang berkompeten adalah pemuda itu sendiri. Bahwa ada tokoh-tokoh yang lebih tua sifatnya tentunya untuk mengayomi dan membimbing dari belakang (tut wuri handayani).

Usai kata pembukaan yang terkesan becanda tapi sarat makna dari moderator, perbincangan pun bergulir dengan pembahasan mengenai sejarah disepakatinya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan ada Kongres Pemuda II yang berlangsung pada tanggal 27-28 Oktober 2010. Menurut Anhar Gonggong terdapat perdebatan seru dalam penentuan tersebut. Usulan yang mengemuka adalah digunakannya bahasa Melayu, seperti yang diusulkan Mohammad Yamin, karena banyak digunakan oleh penduduk di banyak daerah, khususnya Sumatera. Ada juga usulan penggunaan bahasa Jawa dengan argumen yang senafas dengan usulan penggunaan bahasa Melayu.

Di tengah kealotan tersebut, masuklah usulan penggunaan bahasa Indonesia (yang berasal dari bahasa di Riau) sebagai bahasa persatuan. Meski masyarakjat pengguna bahasa ini tidak banyak, namun bahasa tersebut mudah digunakan, tidak mengenal strata dan kerap dipakai sebagai bahasa penghubung dalam berkomunikasi antar daerah. Akhirnya melalui lose-lose solution (mengambil istilah dari Imam Prasodjo) diputuskan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Hikmah yang dapat dipetik dari proses pengambilan keputusan ini adalah tingginya semangat kebersamaan dan kebangsaan Indonesia untuk merebut kemerdekaan dari tangan tentara kolonial Belanda. Tingginya semangat kebersamaan dan kemerdekaan ini mengenyampingkan berbagai perbedaan yang ada, bahkan menyingkirkan sikap egoism kesukuan, terutama dari suku-suku mayoritas.

Kembali ke topik nasionalisme, Imam Prasodjo menggarisbawahi bahwa pada hakekatnya setiap generasi memiliki karakteristik tersendiri dalam memandang nasionalisme. Menurut Iman Prasodjo hal tersebut tidak terlepas dari perbedaan pola perilaku dan komunikasi yang ada di setiap jaman. Ditambahkannya, setidaknya terdapat 3 tahapan untuk membedakan pola perilaku dan komunikasi yaitu jaman pertanian, industri dan informasi.

Sesuai tahapan tersebut di atas, tidak mengherankan jika semangat nasionalisme pada era Budi Utomo 1908 berbeda dengan kiprah pencetus Sumpah Pemuda. Idealisme 1928 membuncah dalam momentum Proklamasi 1945. Kemudian, bangkit kekuatan pemuda mahasiswa 1966.

Kini di era global dimana perkembangan teknologi informasi telah memudahkan pola komunikasi yang tidak lagi mengenal batas negara, para pemuda melakukan komunikasi dengan dunia luar secara lebih intensif. Para pemuda dewasa ini telah berubah menjadi generasi multitasking (melakukan banyak hal secara bersamaan) yang memiliki persepsi tersendiri mengenai nasionalisme. Contoh nyata dari perwujudan generasi multitasking adalah sikap para blogger dan penggiat sosial media yang hadir pada acara ini yang terlihat asyik dengan gadget masing-masing, sementara mengikuti kegiatan yang tengah berlangsung. Sambil mendengarkan apa yang disampaikan para pembicara, mereka menyebarluaskan apa yang didengar ke teman-temannya di jejaring media sosial.

Menanggapi hal tersebut di atas, Imam Brotoseno, seorang sutradara film yang juga blogger dan aktif sebagai penggiat sosial media mengemukakan bahwa nasionalisme saat ini sifatnya cair dan dapat diartikan sebagai upaya membebaskan diri dari kebodohan dan kemiskinan. Karenanya nasionalisme jangan hanya diartikan sebagai upaya penolakan intervensi asing lewat masuknya arus modal ke berbagai dunia usaha. Selama masuknya investasi asing dimaksudkan sebagai upaya membangun dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, maka hal itu tentu saja tidak ada salahnya.

Menambahkan apa yang dikemukakan Iman Brotoseno, Promotor musik Andre Subono melihat bahwa perkembangan teknologi informasi dan media jejaring sosial pada hakekatnya tidak mengganggu semangat nasionalisme. Nasionalisme bisa dibangun melalui semangat bekerja dan berprestasi sesuai dengan kemampuan masing-masing. Lebih jauh, ia merasa bersyukur bahwa dengan perkembangan sosial media, pihaknya dapat lebih mudah menjalankan kegiatannya selaku promotor musik.

Dari perbincangan mengenai sumpah pemuda di era global dan digital ini, hal yang patut diteladani adalah semangat kepeloporan yang begitu tinggi dan keberanian sebagai pemuda untuk keluar dari kepompong sukuisme dan batas-batas agama serta berani menjadikan Indonesia sebagai sebuah entitas baru yang sebenarnya belum tergambar persis wujudnya pada saat itu. Keyakinan para pemuda saat itu untuk menjadikan keadaan yang lebih baik dari pada terpecah dan sebagai terjajah patut kiranya dapat diikuti para pemuda saat ini. Jika di masa lalu para pemuda berupaya memerdekakan dari belenggu penjajahan fisik, maka kini yang perlu dilanjutkan adalah memerdekakan diri dari kemiskinan dan kebodohan.

Nasional saat ini mesti dibangun dan dipertahankan di atas semangat kepeloporan, keberanian dan penuh keyakinan untuk menjadikan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sejahtera, terbebas dari kemiskinan dan kebodohan. Upaya menegakkan semangat Sumpah Pemuda dan Nasionalisme tidak perlu dilakukan dengan aksi-aksi kekerasan seperti yang dilakukan beberapa kelompok mahasiswa dalam aksi demonstrasi. Mari kita terus berkarya sesuai dengan kompetensi dan kemampuan masing-masing, tanpa harus melakukan tindakan kekerasan dan perusakan. Simak apa yang dikatakan Windy Astuti, pelajar SMP dari Jogjakarta yang memenangkan kuis makna sumpah pemuda yang diselenggarakan XL: "Sumpah Pemuda: Kritis bukan anarkis, berkarya tanpa henti, dan menjadi pribadi yang berbakti untuk negeri"

Salam semangat pemuda


No comments: