Mas Masim Vavai Sugianto dalam tulisan di blognya pernah mengutip tulisan Bondan Winarno di kolom “Jalansutra”: “Jaka sembung makan pete, ambil sapu di ujung gunung Jangan ngaku orang Jakarte, kalo kaga tahu “Gabus Pucung”. Saya cuma tersenyum membaca apa yang ditulis Bondan. Mungkin karena saya kurang pergaulan, meski lahir dan besar di Jakarta dan kemudian tinggal di Bekasi, saya justru baru mendengar sayur gabus pucung ketika mempersiapkan pembentukan Komunitas Blogger Bekasi (Be-Blog) pada awal Agustus 2009.
Tapi soal ikan gabus, saya sudah lama tahu dan sering merasakan kenikmatannya. Ketika masih kanak-kanak dan tinggal di Kampung Sawah Tanjung Priok, saya dan teman-teman memang sering mancing ikan gabus, sepat atau betok di empang atau rawa-rawa (saat itu kawasan Tanjung Priok belum dipadati rumah seperti sekarang ini). Setiap kali mendapat ikan gabus, orang tua saya tidak pernah mengolahnya menjadi sayur gabus, paling banter ikan tersebut digoreng dan dipecak seperti ikan lele.
Makanya ketika pertama kali mendengar sayur gabus pucung, bayangan saya adalah ikan gabus yang dimasak seperti umumnya orang memasak ikan pindang atau pepes plus kuah. Dari postingan Mas Vavai saya kemudian tahu kalau sayur gabus pucung itu adalah sayur ikan gabus yang berwarna hitam pekat yang berasal dari pucung (kluwak) yang biasa digunakan untuk bumbu rawon. (tapi walaupun Mas Vavai telah membuat postingan sayur gabus pucung sejak 2007 dan sering bertemu dengan saya, belum pernah sekalipun Mas Vavai mentraktir masakan tersebut, ya setidaknya di warung ibunya Mas Vavai di Tambun … hehehe piss Mas Vavai).
Sejak mengenal sayur gabus pucung di saat persiapan pembentukan Be-Blog dan Amprokan Blogger 2010, saya sebenarnya sudah berniat untuk mencoba masakan tersebut. Dari informasi yang saya peroleh, setidaknya ada sebuah rumah makan di Bekasi yang menawarkan menu sayur gabus pucung yaitu di jalan raya Narogong, melewati perumahan Kemang Pratama. Satunya lagi adalah sebuah rumah makan di jalan raya Kali Malang, tepatnya di Pondok Kelapa, Jakarta Timur.
Setelah beberapa kali tertunda, akhirnya hari Minggu 9 Mei 2010 saya berkesempatan mampir di Warung Besan yang terletak di Jalan Kali Malang No. 37, Pondok Kelapa, Jakarta Timur. Di warung ini dapat dijumpai masakan khas Betawi kuno seperti gabus pucung. Menurut penjualnya, menu gabus pucung di Warung Besan asli diolah dari resep bumbu warisan nenek moyang.
Tanpa berlama-lama, saya langsung memesan menu sayur gabus pucung. Ada tiga pilihan potongan ikan gabus yang disajikan yaitu bagian kepala, badan dan ekor. Dengan harga per porsi sebesar Rp. 19.500,-kita akan mendapatkan 2 potongan ikan gabus, karenanya kita harus memilih bagian ikan gabus yang ingin disantap. Saya memilih bagian kepala dan badan.
Karena sudah siap saji, cukup dengan menghangatkan sebentar maka hidangan sayur gabus pucung pun segera siap di meja makan. Dari segi tampilan, sepintas tidak terlihat perbedaan yang mencolok antara sayur gabus pucung dengan rawon daging pada umumnya, yang agak membedakan adalah tidak adanya toge sebagai pelengkap.
Kalau dari segi tampilan tidak terlalu berbeda dengan rawon, maka dari segi rasa barulah tampak perbedaannya. Meski sama-sama menggunakan pucung (kluwek) sebagai bumbu (dan mengakibatkan kuahnya berwarna hitam), namun perpaduan bumbu-bumbu lainnya seperti kemiri, bawang merah, bawang putih, cabe merah, jahe, kunyit dan daun salam yang ditumis menjadi satu, menjadikan rasa gabus pucung Warung Besan terbilang unik. Terasa sekali rasa gurih dan asinnya, walau tidak ada rasa pedas yang mencuat. Aroma wangi yang keluar dari kuah pucung terasa membangkitkan selera. Kenikmatan tersebut semakin lengkap dengan adanya lalapan selada dan kol serta sambal agak manis yang disediakan gratis.
Kalau Bondan Winarno selalu berkata maknyuus seusai menikmati suatu sajian, maka saya pun tidak mau kalah dengan Bondan dengan mengatakan bahwa sayur gabus pucung di Warung Besan ini sangat luar biasa dan layak dicoba (semoga pemilik Warung Besan membaca postingan ini dan memberikan porsi gratis sayur gabus pucung … halah). Selain dapat kemewahan menikmati ikan gabus yang sudah jarang dengan harga yang relatif tidak mahal, saya juga bisa mencicipi makanan kuno orang-orang Betawi dan Bekasi (sebagian orang Bekasi yang keturunan Betawi juga mengakui sayur gabus pucung sebagai makanan khasnya).
Mudah-mudahan ke depannya banyak orang yang bisa menternakkan ikan gabus sehingga menu sayur gabus pucung tidak punah. Semoga pula anggapan bahwa sayur gabus pucung hanya masakan untuk para boss (karena langkanya) dapat berubah menjadi makanan masyarakat pada umumnya seperti halnya pecak lele yang dapat dengan mudah didapat di berbagai tempat, bahkan hingga di warung tenda.
2 comments:
mantaaaaf.....
ntar kapan2....kita makan gabus pucung yang asli di Babelan...atau di Udin Ombo....
@Bang Komar, siiip ... ditunggu undangannya
Post a Comment