29.3.10

Perjalanan ke Balibo, dari Deklarasi hingga Film

Sabtu, 27 Maret 2010, cuaca sangat cerah ketika rombongan kami yang terdiri dari Duta Besar Agus Tarmidzi (Penasehat khusus ASEAN Kemlu Timor Leste), Victor Sambuaga (Sekretaris I Politik KBRI Dili) , Gatot H. Gunawan (Staf Direktorat Jenderal ASEAN Kemlu RI), Florence Pattipeilohy (Staf Politik KBRI Dili) dan saya sendiri meninggalkan Dili. Tujuan akhir dari perjalanan ini adalah Kota Maliana yang berjarak sekitar 100-an km dari Dili. Namun karena dalam perjalanan ke Maliana kami juga melewati Balibo, sebuah kota kecil yang terletak di dataran tinggi distrik Bobonaro atau sekitar 20 km sebelum Maliana, kami pun tidak melewatkan kesempatan untuk menyinggahi kota ini.

Balibo menjadi tempat yang patut disinggahi karena di tempat inilah tercatat salah satu episode sejarah hubungan Indonesia-Tinor Leste dimana lewat Deklarasi Balibo yang diproklamirkan pada tanggal 30 November 1975, sebagian masyarakat Timor Timur berkeinginan untuk berintegrasi dengan Indonesia. Nama Balibo juga menjadi daya tarik tersendiri karena menurut film Balibo 5 produksi Arenafilm Australia dan disutradarai Robert Connolly, di Balibo lah 5 awak jaringan televisi Australia terbunuh ketika sedang meliput berita. Film ini menjadi kontroversial dan dilarang peredarannya di Indonesia karena dipandang dapat menguak luka lama integrasi Timor Timur ke Indonesia, khususnya dikaitkan dengan keterlibatan Pasukan Khusus TNI dalam peristiwa kematian 5 awak televisi tersebut.

Untuk mencapai Balibo dari Dili setidaknya dibutuhkan waktu 3,5 jam perjalanan darat melewati jalan berkelok-kelok dan penuh lubang menyusuri pantai Timor hingga Batu Gade. Dari Batu Gade, kendaraan dibelokkan ke kiri menanjaki dataran tinggi dimana kota Balibo berada. Sama seperti perjalanan dari Dili-Batu Gade, perjalanan menuju Balibo, selain menanjak, juga berkelak-kelok dan penuh lubang serta sesekali dihadapkan pada longsoran tanah dan batu dari bukit-bukit sepanjang jalan. Dengan kondisi jalan yang kuirang nyaman, tidak mengherankan jika seorang anggota rombongan kami sempat muntah karena tidak tahan menghadapi guncangan.

Sepanjang perjalanan yang mendaki, terlihat pohon-pohon sawit yang tidak terawat dan bangunan-bangunan rumah yang ditinggalkan penghuninya, bahkan sebagian di antaranya masih memperlihatkan sisa-sisa terjadinya perusakan.


Tepat di tengah kota Balibo, masih tampak berdiri monumen Deklarasi Balibo berupa patung seorang pria Timor bersarung yang sedang memegang bendera dan berkalung seutas tali yang terputus. Lokasi monumen Deklarasi Balibo ini sangat strategis di antara dua bukit kecil dan jalan utama antara Maleno (kota sebelum Maliana) dan Batu Gade. Karena letaknya yang strategis inilah, tempat ini dulunya sering menjadi medan pertempuran. Siapa yang bisa menguasa bukit akan lebih mudah mengontrol kawasan tersebut. Tidak mengherankan jika di salah satu bukit terdapat benteng peninggalan Portugis (sekarang disana digunakan sebagai tempat berdirinya menara telekomunikasi), sementara di bukit satunya digunakan sebagai bangunan tempat tinggal dan pemakaman.

Monumen Deklarasi Balibo dibangun untuk mengenang ditandatangainya deklarasi yang mendukung integrasi Timor Timur dengan Indonesia oleh 4 partai politik yaitu Associacao Popular Democratica de Timur (Apodeti) yang dipimpin Arnoldo dos Reis Araujo dan Jose Fernando Osario Soares, Uniao Democratica Timorense (UDT) pimpinan Francisco Xavier Lopes da Cruz da Dominggos Olivera, KOTA (Klibur Oan Timur Aswin) pimpinan Jose Martin dan Partai Trabalista pimpinan A Barao.

Menurut Hendro Subroto dalam bukunya “Saksi Mata Perjuangan Integrasi Timor Timur” keinginan keempat partai untuk berintegrasi dengan Indonesia dilandasai kesengsaraan dan kekejaman selama penjajahan Portugal lewat tangan Fretilin (Frente Revolucionaria de Timor Lesta Independence) yang sedang berkuasa. Deklarasi Balibo juga dimaksudkan untuk menandingi pernyataan kemerdekaan yang dicetuskan Fretilin secara sepihak pada 28 Nopember 1975 dengan menyatakan berdirinya “Republik Demokrasi Timor Timur”.

Monumen ini sekarang sudah tidak terawat, penjelasan tentang monumen ini pun sudah tidak tampak, yang ada justru coretan-coretan grafiti di beberapa bagian monumen. Konon ketika masih menjadi bagian Indonesia, di depan monumen ini terdapat sebuah gedung museum yang mendokumentasikan berbagai informasi tentang proses integrasi Timor Timur dan Deklarasi Balibo.

Dalam film Balibo 5, di kawasan sekitar monumen inilah diperkirakan 5 awak jaringan televisi Australia nekad menjemput ajalnya saat tentara Indonesia bertempur dengan Fretilin. Kenapa saya bilang nekad? Karena sebenarnya kelima orang tersebut telah diperingatkan, bahkan oleh pihak Fretilin sendiri untuk meninggalkan Balibo yang sangat berbahaya bagi keselamatan mereka. Tetapi demi mendapatkan berita eksklusif dan yakin bahwa sebagai jurnalis tidak akan menjadi sasaran tembakan, mereka tetap bertahan disana hingga akhirnya terjebak dalam pertempuran yang mengakhiri kehidupan mereka pada 16 Oktober 1975.

Tuduhan bahwa tentara Indonesia melakukan pembunuhan biadab dan pelanggaran HAM serta kebebasan pers pun kemudian bermunculan. Bahkan pada bulan Februari 2007 Pengadilan New South Wales menyatakan bahwa “Balibo 5 (maksudnya kelima awak televisi tersebut), ditembak dan atau ditikam langsung, bukan di tengah pertempuran, guna membungkam upaya mereka mengekspose gerakan tentara Indonesia ke Timor Timur pada tahun 1975”.

Meski tentara-tentara yang namanya disebutkan telah melakukan bantahan-bantahan, masalah ini masih terus dimunculkan dari waktu ke waktu, apalagi keputusan Pengadilan New South Wales ternyata diikuti dengan keputusan Polisi Federal Australia yang berkeinginan untuk membuktikan kematian Balibo 5. Mantan Menteri Penerangan Yunus Yosfiah yang menjadi tertuduh utama misalnya, telah beberapa kali membantah keterlibatannya dalam insiden Balibo 5. Menurutnya meski ia dan pasukannya pernah bertugas di Balibo, tapi saat kejadian ia tidak berada disana. Namun meski telah memberikan bantahan, namanya masih dikaitkan dengan tokoh Mayor Andreas yang diduga sebagai dirinya. Begitu pun halnya dengan mantan Gubernur DKI Sutiyoso, yang juga pernah bertugas di Timor Timur, telah memberikan bantahan mengenai keterlibatannya di Balibo. Anehnya, meski belum terbukti keterlibatannya dan telah memberikan bantahan, ketika Sutiyoso berkunjung ke Australia dirinya sempat akan ditangkap dan dipenjarakan disana.


Sementara itu di sebelah kanan monumen Deklarasi Balibo masih dapat disaksikan beberapa bangunan yang rusak parah dan tidak terurus. Sepertinya ditinggalkan penghuninya yang eksodus ke Timor Barat usai jajak pendapat tahun 1999. Adapun tidak jauh dari monumen terdapat prasasti yang dibuat Australia untuk menunjukkan narsisme tentaranya mengamankan Balibo usai pasca jajak pendapat. Dengan penuh kebanggaan Australia memahatkan rasa bangganya di kedua prasasti tersebut dengan menyatakan bahwa tentara negeri kanguru inilah yang pertama kali tiba di Timor Leste pada Septrember 1999 untuk menyelamatkan sebuah negara demokrasi dan mengamankan Timor Leste. Padahal ketika Indonesia memutuskan untuk mengintegrasikan Timor Timur sebagai salah satu propinsinya di tahun 1975, negeri yang mengaku sebagai Deputy Sherif AS ini pula yang memberikan dukungan pertama kepada Indonesia.

Sebagai sebuah kota kecil, tidak banyak penduduk yang tinggal di Balibo. Letaknya yang berada di ketinggian menyulitkan bagi warganya untuk bercocok tanam. Beda dengan Maliana yang berada di dataran rendah dan banyak memiliki daerah datar, yang memudahkan masyarakatnya untuk bercocok tanam, terutama bertanam padi. Ketika kami berkunjung tidak terlihat aktivitas dan keramaian warga, jalan dan rumah-rumah terlihat lengang, hanya terlihat beberapa anak kecil sedang bermain.

Karena letaknya yang berada di dataran tinggi, dari Balibo kita dapat melihat keindahan pemandangan alam di sekitarnya. Sepanjang mata memandang, tampak pegunungan menghijau dengan hiasan berupa awan putih berarak. Sementara itu jika memandangkan mata ke arah utara, akan tampat hamparan laut biru perairan Timor (dalam film Balibo 5, pemandangan laut didramatisir dengan kehadiran sejumlah besar kapal perang TNI-AL (kenyataannya, karena letaknya yang cukup jauh, sekitar 15 km, akan sangat sulit melihat kehadiran kapal perang dalam jumlah besar, apalagi jika harus melihat dengan mata telanjang).

Beberapa meter dari Monumen Deklarasi Balibo, terdapat sebuah gedung sekolah dasar yang dulunya dibangun Pemerintah RI sebagai Sekolah Dasar Negeri Balibo. Tampaknya tidak ada perubahan fungsi dari gedung tersebut, kecuali namanya yang dirubah menjadi sekolah dasar Timor Leste dan ditulis dalam bahasa Portugis. Sementara sebuah kantor yang mungkin dulunya digunakan sebagai kantor camat Balibo sekarang difungsikan sebagai kantor Pemerintah Sub-distrik Balibo.

Sama seperti kebanyakan warga Timor Leste, warga Balibo pun masih menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari, selain Tetun. Seorang warga Balibo yang melihat saya sedang melakukan aksi potret memotret sambil tersenyum menyampaikan salam dalam bahasa Indonesia. Sayang karena keterbatasan waktu, dan cuaca cerah berubah menjadi hujan, kami segera bergegas menuju perbatasan RI-Timor Leste di Motaen, Kabupaten Belu (sekitar 10 km dari Balibo). Hal ini harus segera kami lakukan agar jangan sampai perjalanan turun dari Balibo terhambat oleh longsoran tanah dan batu akibat hujan yang deras.

Demikian cerita persinggahan singkat kami di Balibo, walau singkat namun sangat bermanfaat . Setidaknya saya bisa membayangkan dan merasakan bagaimana suasana historis di kawasan ini. Saya membayangkan bagaimana para tentara Indonesia dan sebagian masyarakat Timor Timur berjuang untuk mengintegrasikan wilayahnya dengan bertempur dan mempertaruhkan nyawanya di medan yang berbukit-bukit. Saya juga dapat membayangkan bagamana lebaynya Australia mendefinisikan perannya di Timor Leste dan terkadang mendramatisir kejadiaan di Balibo dan memanfaatkan kejadiaan saat konflik terjadi di Timor Leste untuk menekan Indonesia.

Menghadapi pandangan dan sikap berbagai pihak yang mungkin ingin mendiskreditkan Indonesia, langkah yang tepat adalah bukan dengan melakukan berbagai larangan, tapi justru membuat informasi yang sifatnya terpadu. Dari film Balibo 5 kita bisa mengambil pelajaran bahwa film tetaplah bisa dijadikan sebagai media untuk promosi dan proganda. Untuk itu, hal sederhana yang bisa dilakukan adalah membuat film dari sudut pandang Indonesia. Dalam sejarah integrasi Timor Timur ke Indonesia, kita tidak bisa memungkiri bahwa sejarah Indonesia di Timor Timur telah menjadi fakta, karenanya menuliskan apa yang terjadi merupakan keniscayaan. Langkah ini lebih efektif dalam memunculkan citra positif Indonesia di dunia internasional serta bisa menjaga hubungan baik Indonesia dengan negara tetangganya seperti Australia dan tentu saja Timor Leste. Kita banyak memiliki sutradara handal yang dapat membuat film-film bermutu dan bukankah kita juga banyak memiliki pengalaman dalam membuat film perjuangan dengan Belanda sebagai bad guynya?

6 comments:

Irfan said...

Mantaph tenan.. Ternyata Mas Aris ingat dengan titipan saya tentang Balibo :)

Reportase Mas Aris ini sangat lengkap dan mengingatkan saya pada adegan demi adegan Film Balibo...

Sayangnya Mas Aris gak bisa berbincang banyak dengan warga setempat dan mendengar versi mereka langsung mengenai cerita Balibo ini :)

Irma Senja said...

Oke banget reportasenya mas aris ^^

jadi tahu nih ttg Balibo,....

Wijaya kusumah said...

Makasih oleh-olehnya mas aris, jadi tahu balibo deh

salam
Omjay

Herbal-Bekam said...

kapan kapan ngajak saya ke sana mas !
Dulu sering ke timtim waktu masih gabung dg Indonesia

Ratusya said...

jadi pak aris kesana karena ngomongin film balibo 5 itu ya?

Aris Heru Utomo said...

@Irfan, Irma, Om Jay, terima kasih :-)

@Herbal, boleh

@Ratu, asyiik kan, gara2 film terus jalan2 kesana :-)