11.2.08

Museum dan Sejarah Kita

Free Image Hosting at allyoucanupload.com Kalau ditanya berapa kali anda dan keluarga anda berkunjung ke museum dan berapa kali ke mall setiap tahunnya, mungkin anda akan lebih mudah menjawab pertanyaan yang pertama. Jawabannya kalau tidak 0, paling banter 1-2 kali saja. Terus terang saja, saya juga dulu termasuk yang jarang mengunjungi museum. Makanya ketika diundang Mas Iman Brotoseno untuk ikutan ngisi ceritaindonesia saya agak sedikit grogi. Saya bukan sejarawan dan pengetahuan saya tentang sejarah pun minim sekali. Berbeda dengan menulis di ceritakaos yang bisa lebih bebas, menulis atau tepatnya mewartakan kembali informasi tentang (sejarah) Indonesia dengan jujur, jelas tidak mudah. Dibutuhkan suatu keakuratan mengenai suatu peristiwa yang ingin disampaikan.

Beruntunglah sekarang ini ada Pakde Gugel yang hampir tahu segalanya dan langsung membawakan informasi yang dibutuhkan kehadapan kita. Dengan sedikit pengetahuan saya dan informasi dari Pakde Gugel jadilah tulisan pertama saya disana. Bahwa tulisan pertama tersebut tentang Perjanjian Linggajati, terus terang tanpa disengaja. Kebetulan ketika saya membereskan ruang kerja, terlihat gambar rumah tempo dulu di sebuah kalender tahun 2007.

Free Image Hosting at allyoucanupload.com
Narasi singkat pada kalender tersebut menyebutkan bahwa rumah tersebut merupakan Museum Perundingan Linggajati. Disana tercantum bahwa pada tanggal 11-13 November 1947, di rumah tersebut telah dilakukan perundingan antara Pemerintah Indonesia dan Belanda. Disebutkan pula di rumah itulah untuk pertama kalinya Indonesia dan Belanda berada dalam satu meja perundingan sebagai dua pihak yang setara.

Sebenarnya tidak ada yang keliru dengan penyebutan gambar rumah tersebut, sampai kemudian saya ingat bahwa Perundingan Linggajati sebenarnya dilaksanakan pada tahun 1946 dan hasilnya baru ditandatangani pada tahun 1947. Karena Belanda kemudian menolak isi perjanjian tersebut, maka dilakukanlah Aksi Polisional I atau yang dikenal sebagai Clash Action I pada tahun 1947.

Setelah konsultasi (lagi-lagi) dengan Pakde Gugel dan Wiki Cahandong Wikipedia, diketahui bahwa Perundingan Linggajati memang benar dilaksanakan tanggal 11-12 November 1946 bukan tahun 1947. Untung saja kalender tersebut cuma berlaku setahun dan bukan merupakan buku sejarah yang harus dipelajari. Bayangkan kalau kekeliruan tercantum dalam buku sejarah, bisa-bisa pembacanya akan mengingat bahwa Perjanjian Linggajati dilaksanakan tahun 1947. Itu baru soal tahun, belum lagi menyentuh substansi lainnya seperti hal-hal yang dirundingkan dan hasil-hasilnya.

Gambar museum dan kesalahan narasi sepertinya tidak ada hubungannya. Namun sebenarnya keduanya memiliki kesamaan yaitu perlunya pemahaman sejarah. Museum dibuat dengan kesadaran bahwa seluruh anggota masyarakat perlu mendapatkan pendidikan sejarah guna dapat memahami negeri ini. Museum merupakan jendela yang dapat membuka perjalanan bangsa suatu bangsa.

Kalau sekarang ngomongin museum pastinya akan ditanggapi dengan sebelah mata. Lebih mengasyikan berjalan-jalan di mall, chatting atau nongkrong di café. Mengunjungi museum dinilai sebagai tindakan yang membosankan, apalagi banyak museum yang kotor, kumuh dan menyeramkan. Selain itu ada anggapan bahwa museum diperuntukkan untuk anak sekolah/mahasiswa untuk menjawab tugas-tugas yang diberikan sekolahnya.

Bahwa berkunjung ke museum membosankan dan kadang museumnya tidak terawat ada benarnya. Karenanya dibutuhkan kreatifitas dari pemerintah dan pihak pengelola museum dalam menata museum agar bisa dipasarkan dan menjadi pilihan seluruh keluarga dalam mengisi liburan atau akhir pekan sambil melepas penat. Selain itu pemerintah diharapkan juga tidak pelit dalam mengucurkan dana bagi biaya perawatan museum.

Mengenai pandangan bahwa museum hanya untuk pelajar/mahasiswa atau bahkan peneliti, sepenuhnya tidak benar. Museum sebagai tempat pembelajaran sejarah, merupakan tempat untuk semua orang. Siapa saja boleh masuk ke museum dan mempelajari isinya, tidak ada perbedaan sosial ekonomi, pendidikan, suku ataupun agama.

Kalau saja pemerintah, pengelola museum, kurator dan anggota masyarakat bisa bekerjasama menghidupkan museum, mungkin museum di Indonesia akan lebih ramai pengunjung dan anggota masyarakat yang belajar sejarah akan lebih banyak lagi. Belajar sejarah dengan senang hati tanpa harus merasa seperti diindoktrinasi.

Mungkin sangat berlebihan jika saya membayangkan bahwa suatu saat museum di Indonesia akan seramai Museum Louvre di Paris, yang dikunjungi ribuan wisatawan setiap akhir pekannya. Mereka bukan hanya ingin melihat lukisan Monalisa tetapi juga ingin menyaksikan sejarah Eropa pada umumnya dan karya seni dunia lainnya. Bahkan setelah novel dan film Da Vinci Code beredar, Museum Louvre menjadi lebih ramai oleh pengunjung yang ingin mencocokan tempat-tempat yang disebutkan dalam novel tersebut.

Namun kiranya tidak berlebihan jika membayangkan bahwa setiap keluarga di Indonesia setidaknya berkunjung ke museum sebanyak 2-3 kali dalam setahun. Kalau kegiatan mengunjungi museum sudah bisa menjadi bagian budaya, maka kejadian salah narasi seperti dalam kalender di atas tidak akan terulang. Dan yang jelas pula tidak akan ada salah menyebutkan foto RA Kartini sebagai Nyonya Meneer atau secara cengengesan menyebutkan gambar Tuanku Imam Bonjol sebagai ketua FPI.

Free Image Hosting at allyoucanupload.comO ya ketika membuat tulisan ini, saya menemukan situs museumkita. Saya tidak kenal siapa pengelolanya, pemerintah atau perorangan, tapi saya angkat topi untuk usahanya mengenalkan museum yang ada di Indonesia. Saya perhatikan isinya masih banyak yang kosong. Kalau ada diantara anda ada yang memiliki informasi mengenai museum dan kegiatannya, mungkin bisa membantu pengelola untuk melengkapinya.

5 comments:

Anonymous said...

Kantor berita AFP baru baru ini mengumumkan , bahwa mereka melarang wartawannya mengambil referensi dari Wikipedia. Karena kadang kesahihan datanya kurang akurat.

Anonymous said...

Thanks infonya mas. Sebagai sebuah proyek pengisian keroyokan, data di wikipedia memang sangat mungkin kurang akurat. Tapi kekurang akuratan tsb bisa diminimalisir dgn cek silang data dari sumber lainnya.

Anonymous said...

satu2nya museum yg pernah sy kunjungi, itu museum tekstil. Itu juga krn sy hrs nulis ttg tekstil. Tp luar biasa ternyata koleksi tekstil kita itu, mulai motif, warna, sampai keperuntukkannya. Mungkin termasuk harta karun Indonesia yang tak terhingga nilainya. Barangkali emas yg di Irian itu bakal tak ada nilainya, jika kita bandingkan dengan kekayaan aneka ragam tekstil Indonesia itu.

Anonymous said...

Sekarang Museum "Gajah" udah lumayan rapi, Mas. Desember lalu saya juga baru dari Linggarjati. Guidenya oke, lansekapnya keren

Anonymous said...

Berbicara tentang museum memang menarik. Kalo ingin melihat sisi lain dari museum seperti bagaimana sih cara perawatan koleksi museum, coba deh tengok weblog saya http://duniakonservasimuseum.blogspot.com