Ketika menuliskan postingan ini, saya sedang menunggu perkembangan lahirnya negara baru Kosovo. Dalam hitungan jam, Propinsi Kosovo akan memisahkan diri dari Serbia dan menyatakan diri secara unilateral sebagai negara yang berdaulat. Meski ditentang keras Serbia dan juga Rusia, deklarasi kemerdekaan rencananya disampaikan pada hari Minggu ini, 17 Februari 2008.
Dalam pasang surut tata hubungan internasional, kehadiran suatu negara baru semestinya adalah hal yang wajar, sama wajarnya dengan menyaksikan hilangnya suatu negara yang telah ada sebelumnya. Jika pada masa perang dingin kita mengenal adanya Uni Soviet, Jerman Timur ataupun Yugoslavia, maka kini ketiga nama negara tersebut cuma menjadi kenangan. Namun kita juga kemudian menyaksikan munculnya sejumlah negara baru seperti Ukraina, Uzbekistan, Georgia, Bosnia, Serbia, Ceko dan Slovakia.
Konflik berkepanjang di Kosovo, yang antara lain ditandai dengan pembataian etnik Albania di Kosovo oleh etnik Serbia, menjadikan kemerdekaan sebagai pilihan utama untuk dapat segera mengakhiri konflik. Melalui kemerdekaan, etnik Albania, yang merupakan etnik mayoritas di Kosovo, ingin mengakhiri penderitaan yang selama ini mereka rasakan dan melepaskan diri dari penjajahan Serbia.
Dalam konteks hukum internasional, pemisahan diri Kosovo menjadi menarik mengingat klaim yang diajukan Serbia dan kemungkinan pengakuan internasional bagi negara baru tersebut. Menurut Serbia, berdasarkan sejarahnya Kosovo merupakan kawasan Serbia dan disana dulunya berdiri pusat pemerintahan Serbia. Namun karena diduduki Kekaisaran Otoman selama ratusan tahun, maka wilayah tersebut ditinggalkan etnis Serbia yang mengungsi keluar dari wilayah pendudukan Otoman. Pada saat itulah masuk etnis Albania yang mayoritas muslim dan tinggal di sana selama beratus-ratus tahun dan menjadi penduduk mayoritas di Kosovo.
Dengan klaim tersebut, Serbia menentang pemisahan Kosovo sebaga negara merdeka dan mendorong PBB serta berbagai negara di dunia untuk tidak mengakui kemerdekaan Kosovo. Menurut Serbia, dengan mengakui Kosovo sebagai negara merdeka maka hal tersebut sama saja dengan mengesahkan ‘pendudukan’ etnis Albania terhadap wilayah yang secara historis merupakan bagian dari Serbia.
Sejauh ini yang tegas-tegas akan mengakui kemerdekaan Kosovo adalah AS dan sejumlah besar negara Uni Eropa. Bahkan Uni Eropa sendiri telah menyatakan kesiapannya untuk mengamankan kemerdekaan Kosovo dengan mengirimkan 1800 personil polisi sipil ke wilayah tersebut dan menunjuk Pieter Feith, sebagai utusan khusus Uni Eropa untuk Kosovo. Pieter Feith, mantan diplomat Belanda yang beken di Indonesia karena pernah memimpin tim pengawasan perlucutan senjata dalam rangka perjanjian damai Indonesia-GAM, akan memimpin perwakilan UE yang bertugas mengawasi pengalihan kekuasaan dari misi PBB ke pemerintahan lokal.
Bagi AS dan Uni Eropa, pengakuan kemerdekaan terhadap Kosovo memiliki arti tersendiri, setidaknya bisa menjadikan negara baru tersebut sebagai negara yang berada di bawah pengaruhnya serta menjadikannya sebagai tameng terdepan pertahanan menghadapi kemungkinan ancaman militer Rusia.
Namun bagi sejumlah besar negara lainnya, pengakuan kemerdekaan justru menjadi dilema tersendiri, karena hal tersebut sama saja dengan pembenaran terhadap kemungkinan pelepasan diri sejumlah wilayahnya. Untuk itu meski Uni Eropa sendiri akan memberikan pengakuan kepada Kosovo, namun suara Uni Eropa tidak bulat karena sejumlah negara anggotanya seperti Bulgaria, Cyprus, Spanyol, Rumania dan Yunani berkeberatan untuk segera memberikan pengakuan kepada Kosovo. Negara-negara tersebut enggan untuk memberikan pengakuan segera, mengingat masih adanya potensi disintegrasi di wilayahnya sendiri seperti yang terdapat di Basque, Spanyol.
Sementara AS dan Uni Eropa telah jelas posisinya dan sejumlah negara anggota Uni Eropa masih menimbang lebih lanjut rencana kebijakannya, maka sebagian besar negara di belahan dunia lainnya mengamati dengan seksama perkembangan yang tengah berlangsung. Harapannya, apapun proses yang terjadi, tidak terdapat pertumpahan darah dan tidak menjadikan munculnya konflik baru. Masih banyak konflik di belahan dunia lainnya yang perlu segera dicarikan jalan keluarnya.
6 comments:
Jika Josep Broz Tito masih hidup, apa yang dirasakannya ? melihat Yugoslavia tercerai berai begini..
ya semoga ngga ada pertumpahan darah......contoh soal tuh Timor Leste......
latest development di Beograd segera kami laporkan bos ... :)tentunya ya tengok di blog saya .... he...he....
salam dari Beograd
bos dlm pandangan saya yg cupet ini, jelas kalau melihat Resolusi 1244 mengakui integritas wilayah Former of Yugoslavia yg diwarisi oleh Serbia tentunya ada pelanggaran dari sudut hukum internasional, kemudian kalau dilihat dari Piagam PBB tentunya anggota PBB harus menghormati integritas wilayah teritorial anggotanya, dalam hal ini PBB telah dilangkahi oleh Kosovo yg didukung oleh AS krn kalau melalui mekanisme PBB pasti akan di veto sama Rusia dan China. Inilah yg akan jadi preseden bagi wilayah lainnya termasuk Indonesia. Utk juga diketahui lebih dari 200.000 etnis Serbia terusir dari Kosovo pasca pemboman NATO dan sampai saat ini belum bisa kembali kesana. Jadi keadaannya berbalik ketika jaman Milosevic yg disikat etnis Albania, pasca bom-boman yg disikat etnis Serbia. Kemungkian akan terjadi lagi nih konflik disana yg berujung perang terbuka. Tapi semoga saja tidak terjadi Balkan tercabik-cabik dan berdarah-darah lagi
*Mas Iman: Tito tentunya akan sangat bersedih. Kerja kerasnya bertahun-tahun porak poranda begitu saja. Kalau bisa hidup lagi mungkin saja dia akan menggalang GNB, bersama Soekarno, Nehru dan Naseer, utk menentang hegemoni Amrik.
*Mbak wieda: semoga, tapi Serbia kayaknya udah siap2 utk tempur
*Om Dadung: ditunggu reportase lapanganya plus foto2 di beograd.
Post a Comment