4.10.06

Diplomasi Tempe

Baca KoKi di Kompas tanggal 3 Oktober 2006 jadi teringat keinginan untuk belajar membuat tempe sendiri. Alasan untuk membuat tempe sendiri cukup sederhana, dengan bisa membuat sendiri kita tidak terlalu tergantung kepada penjual tempe. Hal ini cukup penting bagi seorang penggemar tempe seperti saya yang kebetulan tinggal jauh dari tanah air. Kalau pas tinggal di suatu negara yang masyarakat Indonesianya cukup banyak, maka supply tempe tidak menjadi masalah karena biasanya ada saja satu dua orang Indonesia yang memiliki keahlian memproduksi tempe dan menjualnya. Berbeda jika tinggal di suatu negara yang jumlah masyarakat Indonesianya sedikit, bisa jadi tempe akan menjadi makanan mewah karena sulit diperoleh.

Sebenarnya secara teori membuat tempe itu tidak terlalu sulit. Cukup sediakan kacang kedelai dan ragi tempe, maka kita akan bisa membuat tempe. Hanya saja dalam prakteknya mungkin tidak semudah yang dibayangkan. Sama seperti membuat makanan lainnya, diperlukan kesabaran dan praktik pembuatan secara terus menerus. Dengan kesabaran dan praktek secara terus menerus, diharapkan akan diperoleh cara pengolahan dan pembuatan yang pas dan menghasilkan suatu adonan tempe yang memiliki rasa yang nikmat, tidak pahit dan dapat bertahan lama.

Sejarah pembuatan tempe sendiri sebenarnya tidak terlalu jelas. Dalam Wikipedia disebutkan bahwa rujukan pertama mengenai tempe ditemukan pada tahun 1875 dalam sebuah kamus bahasa Jawa-Belanda. Diperkirakan pembuatan tempe bisa jadi dimulai pada masa era tanam paksa di Jawa, dimana pada saat itu masyarakat Jawa terpaksa menggunakan hasil pekarangan seperti singkong ubi dan kedelai, sebagai sumber pangan. Pendapat lain yang ditulis di Wikipedia adalah tempe kemungkinan diperkenalkan oleh orang-orang Tionghoa yang memproduksi makanan sejenis yang disebut koji, kedelai yang difermentasikan menggunakan kapang Aspergillus. Dari Jawa, tempe kemudian menyebar ke seluruh penjuru tanah air, bahkan kini telah mendunia dan dibuat di banyak negara seperti Jepang, Eropa, Amerika Serikat, Kanada, Australia dan berbagai negara lainnya.

Tempe sekarang tidak lagi dipandang sebagai makanan kampungan dan diperuntukan bagi kelas rendahan. Menurut penelitian, tempe memiliki kandungan gizi tinggi, kaya akan serat, kalsium, vitamin B dan zat besi, selain itu tempe mempunyai nilai obat, seperti antibiotika yang bisa untuk menyembuhkan infeksi dan antioksidan pencegah penyakit degeneratif. Dengan kondisi seperti tersebut, tidak mengherankan jika tempe naik kelas dan dipandang sebagai makanan pengganti daging. Lebih lanjut bahkan beberapa negara maju telah mempatenkan tempe dengan beragam varian. Hal tersebut lalu memunculkan kekhawatiran bahwa tempe akan menjadi komoditi yang dapat dimonopoli pemegang lisensi.

Dengan naiknya derajat tempe, sebenarnya sudah saatnya kita tidak memandang remeh tempe sebagai makanan rendahan dan kelas murahan. Kita juga bisa mulai merubah istilah ”mental tempe” dari sesuatu yang lemah dan murahan, menjadi suatu semangat tinggi dan berkelas seperti kandungan gizi yang terdapat pada tempe. Mental tempe juga dapat diartikan sebagai suatu mental yang bermanfaat bagi sekeliling dan berguna dalam berbagai kesempatan. Seperti halnya tempe yang bisa berperan menerobos kelas atas produk makanan dunia, jika kreatif dan tidak segan-segan mencari terobosan-terobosan baru yang membuat tempe bergengsi, maka kita pun bisa merangsek ke atas melalui diplomasi tempe.

Diplomasi tempe adalah kegiatan diplomasi yang memanfaatkan tempe sebagai soft power untuk memberikan tekanan kepada pihak lain, tanpa menggunakan kekerasan. Tujuannya, kalau memungkinkan, menjadikan tempe sebagai bagian dari gaya hidup masyarakat yang dijadikan sasaran. Sehingga bisa saja bunyi iklan teh di Indonesia diadaptasi sehingga menjadi ”apapun minumannya, makanannya tempe”. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah menjadikan tempe sebagai menu utama dalam kegiatan-kegiatan resmi seperti resepsi kenegaraan, resepsi diplomatik, atau berbagai kegiatan lainnya baik resmi maupun tidak resmi, lingkup nasional, regional ataupun internasional. Tentu saja langkah-langkah seperti itu akan berhasil jika disertai dengan pengolahan tempe secara kreatif dan variatif dan penyajiannya dilakukan secara menarik pula. Apalagi jika kemudian dikaitkan dengan isu-isu global dewasa ini seperti isu lingkungan hidup dengan mengusung tema antara lain "tempe ramah lingkungan tidak mengandung kolesterol". Melalui hal-hal seperti itu, saya yakin tempe bisa tampil ke pentas dunia seperti halnya burger, hotdog, spagheti, pizza dan lain sebagainya.

Mungkin kita bisa membayangkan bagaimana serunya jika warung tegal (warteg) mas Slamet, yang menu utamanya berupa macam-macam hidangan tempe seperti tempe bacem, tempe oncom, keripik tempe, tempe bayam dan sebagainya, berdiri tegak disamping McDonald atau Pizza HUT di kawasan pertokoan Avenue Louis, Brussel. Jika di McDonald ada burger dan minuman coca cola, maka di warteg mas Slamet ada nasih putih plus tempe oncom dan keripik tempe serta minuman teh nasgitel (panas, legit dan kentel), yang teh beserta pocinya diimpor langsung dari Indonesia. Kebayang kan berapa peningkatan nilai ekspor perdagangan kita yang berasal dari menu itu saja. Belum lagi jumlah tenaga kerja Indonesia yang didatangkan dari Tegal oleh mas Slamet untuk membantu wartegnya di Avenue Louis dan beberapa tempat lainnya.

Imajinasi semacam itu bisa dikembangkan lebih seru lagi, kita bisa membayangkan bahwa tempe dijadikan hidangan utama dalam setiap kegiatan atau pertemuan di markas PBB ataupun Uni Eropa. Sehingga setiap menyantap hidangan tempe, para staf dan pejabat di markas organisasi internasional tersebut akan teringat akan Indonesia sebagai country of origin tempe. Sehingga seandainya PBB tadinya merencanakan akan mengeluarkan resolusi yang melarang pengembangan tempe di Indonesia (misalnya karena desakan Amerika Serikat yang memandang tempe berbahaya bagi kepentingannya, seperti halnya isu nuklir Iran), dengan sendirinya rancangan resolusi tersebut dapat segera dibatalkan. Selain sangat tidak efektif, ternyata tempe itu enak dibacem dan perlu.

Dalam lingkup yang jauh lebih kecil, tempe sebagai instrumen diplomasi juga cukup untuk efektif dalam penerapannya. Hal ini pernah saya lakukan terhadap tetangga seapartemen yang pada awal-awal tinggal disana bersikap kurang simpatik. Namun setelah menerima kiriman sepiring tempe goreng mendoan disertai penyampaian keterangan cara menyantapnya, sikap tetangga tersebut menjadi lebih baik. Bahkan tidak jarang menegur terlebih dahulu jika kebetulan berpapasan. Tetangga yang lain lagi, ketika dikirimi semangkuk bubur ayam dan beberapa potong tempe goreng, malah memberikan taplak meja makan sebagai tanda terima kasih.

Berdasarkan alasan antara lain seperti tersebut di atas dan mengurangi ketergantungan pada penjual tempe, niat untuk belajar membuat tempe sendiri tampaknya perlu segera direalisir. Selain itu, saya juga sependapat dengan perkataan mantan Menteri dan Ketua Bappenas Kabinet Gotong Royong, Kwik Kian Gie: "tempe itu makanan enak, sehat, dan bergizi. Isinya kedelai yang sekarang harganya mahal. Maka what is wrong being tempe anyway...? ".

UPDATE (02/05/08): Links tulisan saya lainnya mengenai tempe

- Cara membuat tempe

- Tempe dan sikap percaya

2 comments:

Anonymous said...

Dear Mas AHU,

Artikel itu sama dengan pengalamanku selama di
Colombo. Aku sering buat tempe sendiri dan aku kirim
untuk teman-teman diplomat ASEAN diantaranya
teman-teman dari Malaysia, Thailand dan Myanmar bahkan
teman-teman di KBRI dan masyarakat Indonesia lainnya
yang berada di Colombo sudah sangat mengenal tempe
buatanku, tempeku selalu ditunggu-tunggu penggemar
tempe di Colombo, hehehehe....

Salam
Eka

Pangarso D. Nugroho said...

He..he... mas sama juga di Beograd akhirnya nyonya jadi bisa bikin tempe krn keadaan akhirnya buka situs sana sini utk coba-coba bikin tempe alhasil lumayan kagak harus pergi ke Wina utk sekedar nyicipin tempe.. cuman ragi ya tetep harus import dr Indonesia.