“Mohon perhatian, pesawat dengan nomor penerbangan MZ 8480 dengan tujuan Dili siap untuk diberangkatkan. Para penumpang dipersilahkan untuk menuju pintu 9” begitu bunyi pengumuman yang terdengar di ruang keberangkatan Bandara Ngurah Rai Denpasar pada Minggu pagi 13 Desember 2009. Saya pun segera bergegas ke pintu 9, seolah tak sabar untuk segera menengok kembali ibu kota Timor Leste, Dili. Mengunggah kenangan saat akan bertugas dan berada di kota ini.
Sepuluh tahun lalu, sekitar Juni/Juli 1999, saya ditugaskan menjadi anggota Tim Pendahulu (Advance Team) Satuan Tugas Pelaksanaan Penentuan Pendapat di Timor Timur (Satgas P3TT) Deplu. Dalam Tim Pendahulu ini terdapat pula mantan Duta Besar RI untuk Vietnam dan China, Juwana (Ketua Tim dan Wakil Ketua Satgas P3TT), Dino Patti Djalal (juru bicara Satgas P3TT), Oddo Manuhutu (Staf Direktorat Organisasi Internasional Deplu, anggota Satgas P3TT) dan Suherman (Staf adminstrasi/keuangan, anggota Satgas P3TT).
Tim pendahulu ini bertugas antara lain untuk mempersiapkan kantor dan dukungan bagi Satgas P3TT yang baru dibentuk Deplu untuk mengawasi jalannya jajak pendapat (referendum) di Timor Timur (Timtim). Satgas yang dipimpin Duta Besar Agus Tarmidzi (mantan Duta Besar RI di Wina dan Jenewa) ini akan tiba secara bertahap setelah segala sesuatunya siap di Dili. Karenanya dapat dikatakan bahwa tugas Tim Pendahulu adalah membuka jalan bagi kelancaran pelaksanaan tugas Satgas P3TT.
Setelah memperoleh briefing dari Menlu Ali Alatas, Tim Pendahulu segera berangkat menggunakan penerbangan Garuda ke Denpasar, disambung dengan Merpati menuju Dili. Karena malamnya mengikuti rapat hingga larut malam dan sesudahnya masih harus mempersiapkan perangkat sandi dan komunikasi hingga pukul 3 pagi, saya nyaris terlambat tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Dengan berlari-lari dan membawa perangkat yang lumayan berat akhirnya saya masuk ke pesawat yang siap diberangkatkan. Di pesawat terlihat sudah duduk ketua dan anggota tim pendahulu lainnya.Untung saja saya tidak ditepoki oleh seluruh penumpang karena masuk pesawat paling akhir.
Alhamdullilah perjalanan Jakarta-Denpasar-Dili berjalan lancar. Saat tiba di Bandara Comoro Dili waktu menunjukkan pukul 2 siang. Seorang perwira Korem 614/Wiradharma dan staf kantor Gubernur Timtim sudah menjemput dan langsung membawa rombongan ke rumah makan Padang yang letaknya tidak jauh dari kantor Gubernur Timtim. Mungkin karena sudah lewat jam makan siang dan perut mulai kelaparan, makanan apapun yang disajikan pun terasa nikmat. Tidak peduli peluh bercucuran. Saking nikmatnya, terlihat Dino Patti Djalal sampai menyantap dua potong ayam pop.
No free lunch, begitu perkataan yang sering saya dengar. Perkataan tersebut ternyata sangat tepat jika ditujukan kepada tim kami. Usai makan siang, kami tidak memiliki banyak waktu dan dituntut untuk bergerak cepat mencari tempat penginapan sebelum hari gelap. Saat itu kami belum mendapatkan bayangan akan menginap dimana. Dari Jakarta, dengan bantuan Pemda Timtim sebenarnya kami sudah berupaya mendapatkan penginapan, namun tidak berhasil karena semua hotel penuh diisi warga asing yang akan meliput referendum, termasuk hotel Mahkota dan Farol (dua hotel yang cukup besar dan layak di Dili). Untuk itu Pak Juwana selaku Ketua Tim Pendahulu memutuskan untuk segera mendapatkan rumah sewa yang bisa dijadikan kantor Satgas P3TT dan tempat tinggal para personilnya.
Menggunakan sebuah kendaraan dinas Pemda kami pun berkeliling untuk mendapatkan tempat tinggal. Sedangkan barang-barang bawaan ditempatkan di kendaraan dinas lainnya. Tujuan pertama adalah kawasan di sekitar Gubernuran dimana terdapat rumah-rumah yang cukup besar dan memungkinkan untuk difungsikan sebagai kantor dan tempat tinggal. Plihan pertama jatuh ke sebuah rumah besar yang terletak tidak jauh dari gereja Motael. Ketua Tim Pendahulu sebenarnya merasa cocok dengan rumah tersebut, meski, tapi dengan pertimbangan keamanan diputuskan untuk tidak menyewa rumah ini. Dari informasi yang diberikan anggota Korem, kawasan darah di sekitar gereja Motael sangat rawan karena banyak didiami simpatisan Fretelin dan pro kemerdekaan. Dari sini pula bermula insiden Santa Cruz tahun 1991 yang menjadi setback perjuangan Indonesia mempertahankan integrasi Timtim di dunia internasional.
Setelah berkeliling ke beberapa lokasi lainnya, akhirnya Tim Pendahulu sampai di komplek perumahan baru di kawasan Delta Comoro. Meski letaknya agak jauh dari kantor gubernur, namun lebih aman karena di kawasan ini diperkirakan lebih banyak pendukung pro integrasi dan tidak jauh dari Markas Polda Timtim. Di kawasan Delta Comoro ini akhirnya kami mendapatkan dua rumah type 70 yang akan disewakan. Masing-masing rumah ini memiliki 3 kamar dan 2 buah kamar mandi. Kondisinya relatif masih baru dan bagus serta letaknya saling berhadapan. Namun kosong melompong karena semua isinya telah dipindahkan atau dijual pemiliknya, yang sengaja meninggalkan kota Dili karena takut terjadi kerusuhan.
Setelah disepakati harga sewa per bulannya, Tim Pendahulu pun akhirnya menempati kedua rumah tersebut. Duta Besar Juwana, Dino Patti Djalan dan Oddo menempati rumah (sebut saja rumah B), sedangkan saya dan Suherman menempati rumah A (dengan satu kamar diperuntukkan bagi Pak Agus Tarmidzi, Ketua Satgas P3TT, yang akan datang seminggu berikutnya). Masih segar dalam ingatan, malam pertama di Dili dilalui Tim Pendahulu dengan tidur di rumah kosong dan hanya beralaskan kasur busa pinjaman. Beruntung air tersedia sehingga tidak perlu khawatir tidak bisa mandi keesokan harinya.
Paginya saya bangun agak terlambat dan saya lihat Dino Patti Djalal baru saja menyelesaikan lari pagi. Juru bicara Satgas P3TT ini rupanya rajin memelihara stamina dengan berlari pagi. Pagi itu kegiatan diawali dengan briefing dari Pak Juwana mengenai apa yang akan dilakukan sesuai dengan tugas pokok masing-masing. Pak Juwana dan Dino Patti Djalal menyiapkan hal-hal substansi termasuk menghubungi para pihak terkait baik di Pemda, Kodam, Polda ataupun UNAMET (United Nations Mission in East Timor). Suherman melengkapi kebutuhan logistik kantor dan mencari rumah tambahan untuk menampung anggota-anggota Satgas yang akan semakin banyak berdatangan. Saya sendiri segera meluncur ke kantor Telkom, Dishub Kodam, Polda dan kantor Gubernur untuk menyiapkan pembukaan jaringan sandi dan komunikasi. Alhamduillilah tidak sampai seminggu semua jaringan komunikasi tertutup dan terbuka sudah dapat beroperasi.
Hari-hari penugasan di Dili pun kemudian dijalani dengan penuh warna, apalagi setelah Ketua Satgas P3TT tiba di Dili. Berbagai pertemuan dan kegiatan menerima tamu silih berganti dilakukan di rumah A. Suatu ketika hadir pimpinan UNAMET, Ian Martin. Pada saat lain datang pula Pangdam Udayana Mayjen Adam Damiri didampingi Danrem 614/Wiradharma, Kolonel Tono Suratman dan Kapolda Timtim, Kolonel Timbul Silaen. Sementara situasi di Dili dan berbagai distrik lainnya di Timtim semakin memanas dengan terjadinya konflik di berbagai tempat. PBB lewat UNAMET mulai menancapkan kukunya, sementara TNI dan Polisi gamang dalam mengambil tindakan.
Ditengah-tengah pelaksanaan tugas, sekali waktu saya menemani Suherman mencari perlengkapan kantor dan sekaligus melihat-lihat suasana kota. Pada waktu lain saya sekedar nongkrong di kawasan pertokona perumahan Delta Comoro dimana terdapat beberapa pedagang kaki lima yang menjual gorengan dan keripik singkong. Pedagang kaki lima ini umumnya berasal dari Jawa, namun belum sempat meninggalkan Timtim karena tidak memiliki cukup biaya. Saya berbincang-bincang dengan mereka dan menanyakan rencana mereka seandainya lewat referendum ternyata masyarakat Timtim lebih memilih merdeka.
Selain berbincang-bincang dengan warga pendatang, saya pun berusaha untuk berbincang-bincang dengan warga asli Timtim. Namun untuk melakukan hal ini perlu hati-hati, salah-salah ucap bisa menyinggung warga yang mendukung kemerdekaan. Untuk mengetahui mana pendukung integrasi dan mana pendukung kemerdekaan, Pak Agus Tarmidzi memiliki cara yang unik. Setiap kali berjumpa dengan warga asli Timtim, beliau langsung menyapa “selamat pagi/siang/malam, apa kabar?”. Jika dijawab dengan perkataan “Selamat pagi/siang/malam, kabar baik bapak”, maka dapat dipastikan yang bersangkutan pendukung pro integrasi. Sementara jika tidak menjawab apapun, apalagi cemberut, dapat dipastikan yang bersankitan pendukung pro kemerdekaan.
Saking sibuk dan padatnya kegiatan persiapan memantau pelaksanaan referendum, tidak terasa hampir sebulan saya berada di Dili. Namun saya harus segera kembali ke Jakarta ketika ada panggilan mendadak untuk tes masuk Sekolah Dinas Luar Negeri (Sekdilu). Setelah memperoleh ijin Ketua Satgas dan tentu saja Sekjen Deplu, saya berupaya mendapatkan tiket pulang meski harus mengupgrade tiket ekonomi yang saya pegang menjadi business (tentunya dengan tambahan biaya yang tidak sedikit). Saya masih ingat ketika dalam penerbangan Dili-Denpasar, duduk sederetan dengan saya Gubernur Timtim Abilio Soares yang tampaknya akan ke Jakarta pula. Saya perhatikan ia lebih banyak diam dan membisu, hanya sesekali berbincang dengan Ketua DPRD yang duduk di sebelahnya. Mungkin ia sedang risau akan masa masa depan Timtim dan dirinya.
Karena waktu yang sangat mendesak dan berpikir akan kembali ke Dili seusai mengikuti tes Sekdilu, saya ke Jakarta hanya membawa pakaian di badan dan dokumen perjalanan. Sementara barang bawaan lainnya saya tinggal di Dili. Ternyata apa yang terjadi kemudian memperlihatkan hal yang berbeda, seusai mengikuti tes Sekdilu saya dilarang kembali ke Dili karena dipandang telah menyalahi prosedur dengan meninggalkan pos. Pimpinan unit dimana saya bekerja di Jakarta tidak bisa menerima penjelasan bahwa saya kembali dengan seijin Ketua Satgas dan Sekjen Deplu. Hal ini tentu saja sangat mengecewakan, bukan karena saya tidak dapat melanjutkan tugas dan barang-barang saya masih tertinggal di Dili, tetapi karena melihat sikap pimpinan di unit kerja yang tidak mendukung anak buahnya untuk maju lewat pendidikan.
Mengingat kejadian di atas saya tentu saja sedih dan semakin sedih ketika pada akhirnya hasil referendum memperlihatkan dukungan mutlak masyarakat Timtim terhadap pro kemerdekaan. Beruntung kekecewaan saya terobati karena berhasil lulus tes masuk Sekdilu dan mulai mengikuti pendidikan pada bulan Oktober 1999. Kini ketika berkesempatan kembali ke Timor Leste, walau hanya seminggu, saya ingin menuntaskan sedikit kenangan tentang Dili. Bukan hanya kotanya, tetapi juga peristiwa-peristiwa yang melingkupinya.
Sepuluh tahun lalu, sekitar Juni/Juli 1999, saya ditugaskan menjadi anggota Tim Pendahulu (Advance Team) Satuan Tugas Pelaksanaan Penentuan Pendapat di Timor Timur (Satgas P3TT) Deplu. Dalam Tim Pendahulu ini terdapat pula mantan Duta Besar RI untuk Vietnam dan China, Juwana (Ketua Tim dan Wakil Ketua Satgas P3TT), Dino Patti Djalal (juru bicara Satgas P3TT), Oddo Manuhutu (Staf Direktorat Organisasi Internasional Deplu, anggota Satgas P3TT) dan Suherman (Staf adminstrasi/keuangan, anggota Satgas P3TT).
Tim pendahulu ini bertugas antara lain untuk mempersiapkan kantor dan dukungan bagi Satgas P3TT yang baru dibentuk Deplu untuk mengawasi jalannya jajak pendapat (referendum) di Timor Timur (Timtim). Satgas yang dipimpin Duta Besar Agus Tarmidzi (mantan Duta Besar RI di Wina dan Jenewa) ini akan tiba secara bertahap setelah segala sesuatunya siap di Dili. Karenanya dapat dikatakan bahwa tugas Tim Pendahulu adalah membuka jalan bagi kelancaran pelaksanaan tugas Satgas P3TT.
Setelah memperoleh briefing dari Menlu Ali Alatas, Tim Pendahulu segera berangkat menggunakan penerbangan Garuda ke Denpasar, disambung dengan Merpati menuju Dili. Karena malamnya mengikuti rapat hingga larut malam dan sesudahnya masih harus mempersiapkan perangkat sandi dan komunikasi hingga pukul 3 pagi, saya nyaris terlambat tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Dengan berlari-lari dan membawa perangkat yang lumayan berat akhirnya saya masuk ke pesawat yang siap diberangkatkan. Di pesawat terlihat sudah duduk ketua dan anggota tim pendahulu lainnya.Untung saja saya tidak ditepoki oleh seluruh penumpang karena masuk pesawat paling akhir.
Alhamdullilah perjalanan Jakarta-Denpasar-Dili berjalan lancar. Saat tiba di Bandara Comoro Dili waktu menunjukkan pukul 2 siang. Seorang perwira Korem 614/Wiradharma dan staf kantor Gubernur Timtim sudah menjemput dan langsung membawa rombongan ke rumah makan Padang yang letaknya tidak jauh dari kantor Gubernur Timtim. Mungkin karena sudah lewat jam makan siang dan perut mulai kelaparan, makanan apapun yang disajikan pun terasa nikmat. Tidak peduli peluh bercucuran. Saking nikmatnya, terlihat Dino Patti Djalal sampai menyantap dua potong ayam pop.
No free lunch, begitu perkataan yang sering saya dengar. Perkataan tersebut ternyata sangat tepat jika ditujukan kepada tim kami. Usai makan siang, kami tidak memiliki banyak waktu dan dituntut untuk bergerak cepat mencari tempat penginapan sebelum hari gelap. Saat itu kami belum mendapatkan bayangan akan menginap dimana. Dari Jakarta, dengan bantuan Pemda Timtim sebenarnya kami sudah berupaya mendapatkan penginapan, namun tidak berhasil karena semua hotel penuh diisi warga asing yang akan meliput referendum, termasuk hotel Mahkota dan Farol (dua hotel yang cukup besar dan layak di Dili). Untuk itu Pak Juwana selaku Ketua Tim Pendahulu memutuskan untuk segera mendapatkan rumah sewa yang bisa dijadikan kantor Satgas P3TT dan tempat tinggal para personilnya.
Menggunakan sebuah kendaraan dinas Pemda kami pun berkeliling untuk mendapatkan tempat tinggal. Sedangkan barang-barang bawaan ditempatkan di kendaraan dinas lainnya. Tujuan pertama adalah kawasan di sekitar Gubernuran dimana terdapat rumah-rumah yang cukup besar dan memungkinkan untuk difungsikan sebagai kantor dan tempat tinggal. Plihan pertama jatuh ke sebuah rumah besar yang terletak tidak jauh dari gereja Motael. Ketua Tim Pendahulu sebenarnya merasa cocok dengan rumah tersebut, meski, tapi dengan pertimbangan keamanan diputuskan untuk tidak menyewa rumah ini. Dari informasi yang diberikan anggota Korem, kawasan darah di sekitar gereja Motael sangat rawan karena banyak didiami simpatisan Fretelin dan pro kemerdekaan. Dari sini pula bermula insiden Santa Cruz tahun 1991 yang menjadi setback perjuangan Indonesia mempertahankan integrasi Timtim di dunia internasional.
Setelah berkeliling ke beberapa lokasi lainnya, akhirnya Tim Pendahulu sampai di komplek perumahan baru di kawasan Delta Comoro. Meski letaknya agak jauh dari kantor gubernur, namun lebih aman karena di kawasan ini diperkirakan lebih banyak pendukung pro integrasi dan tidak jauh dari Markas Polda Timtim. Di kawasan Delta Comoro ini akhirnya kami mendapatkan dua rumah type 70 yang akan disewakan. Masing-masing rumah ini memiliki 3 kamar dan 2 buah kamar mandi. Kondisinya relatif masih baru dan bagus serta letaknya saling berhadapan. Namun kosong melompong karena semua isinya telah dipindahkan atau dijual pemiliknya, yang sengaja meninggalkan kota Dili karena takut terjadi kerusuhan.
Setelah disepakati harga sewa per bulannya, Tim Pendahulu pun akhirnya menempati kedua rumah tersebut. Duta Besar Juwana, Dino Patti Djalan dan Oddo menempati rumah (sebut saja rumah B), sedangkan saya dan Suherman menempati rumah A (dengan satu kamar diperuntukkan bagi Pak Agus Tarmidzi, Ketua Satgas P3TT, yang akan datang seminggu berikutnya). Masih segar dalam ingatan, malam pertama di Dili dilalui Tim Pendahulu dengan tidur di rumah kosong dan hanya beralaskan kasur busa pinjaman. Beruntung air tersedia sehingga tidak perlu khawatir tidak bisa mandi keesokan harinya.
Paginya saya bangun agak terlambat dan saya lihat Dino Patti Djalal baru saja menyelesaikan lari pagi. Juru bicara Satgas P3TT ini rupanya rajin memelihara stamina dengan berlari pagi. Pagi itu kegiatan diawali dengan briefing dari Pak Juwana mengenai apa yang akan dilakukan sesuai dengan tugas pokok masing-masing. Pak Juwana dan Dino Patti Djalal menyiapkan hal-hal substansi termasuk menghubungi para pihak terkait baik di Pemda, Kodam, Polda ataupun UNAMET (United Nations Mission in East Timor). Suherman melengkapi kebutuhan logistik kantor dan mencari rumah tambahan untuk menampung anggota-anggota Satgas yang akan semakin banyak berdatangan. Saya sendiri segera meluncur ke kantor Telkom, Dishub Kodam, Polda dan kantor Gubernur untuk menyiapkan pembukaan jaringan sandi dan komunikasi. Alhamduillilah tidak sampai seminggu semua jaringan komunikasi tertutup dan terbuka sudah dapat beroperasi.
Hari-hari penugasan di Dili pun kemudian dijalani dengan penuh warna, apalagi setelah Ketua Satgas P3TT tiba di Dili. Berbagai pertemuan dan kegiatan menerima tamu silih berganti dilakukan di rumah A. Suatu ketika hadir pimpinan UNAMET, Ian Martin. Pada saat lain datang pula Pangdam Udayana Mayjen Adam Damiri didampingi Danrem 614/Wiradharma, Kolonel Tono Suratman dan Kapolda Timtim, Kolonel Timbul Silaen. Sementara situasi di Dili dan berbagai distrik lainnya di Timtim semakin memanas dengan terjadinya konflik di berbagai tempat. PBB lewat UNAMET mulai menancapkan kukunya, sementara TNI dan Polisi gamang dalam mengambil tindakan.
Ditengah-tengah pelaksanaan tugas, sekali waktu saya menemani Suherman mencari perlengkapan kantor dan sekaligus melihat-lihat suasana kota. Pada waktu lain saya sekedar nongkrong di kawasan pertokona perumahan Delta Comoro dimana terdapat beberapa pedagang kaki lima yang menjual gorengan dan keripik singkong. Pedagang kaki lima ini umumnya berasal dari Jawa, namun belum sempat meninggalkan Timtim karena tidak memiliki cukup biaya. Saya berbincang-bincang dengan mereka dan menanyakan rencana mereka seandainya lewat referendum ternyata masyarakat Timtim lebih memilih merdeka.
Selain berbincang-bincang dengan warga pendatang, saya pun berusaha untuk berbincang-bincang dengan warga asli Timtim. Namun untuk melakukan hal ini perlu hati-hati, salah-salah ucap bisa menyinggung warga yang mendukung kemerdekaan. Untuk mengetahui mana pendukung integrasi dan mana pendukung kemerdekaan, Pak Agus Tarmidzi memiliki cara yang unik. Setiap kali berjumpa dengan warga asli Timtim, beliau langsung menyapa “selamat pagi/siang/malam, apa kabar?”. Jika dijawab dengan perkataan “Selamat pagi/siang/malam, kabar baik bapak”, maka dapat dipastikan yang bersangkutan pendukung pro integrasi. Sementara jika tidak menjawab apapun, apalagi cemberut, dapat dipastikan yang bersankitan pendukung pro kemerdekaan.
Saking sibuk dan padatnya kegiatan persiapan memantau pelaksanaan referendum, tidak terasa hampir sebulan saya berada di Dili. Namun saya harus segera kembali ke Jakarta ketika ada panggilan mendadak untuk tes masuk Sekolah Dinas Luar Negeri (Sekdilu). Setelah memperoleh ijin Ketua Satgas dan tentu saja Sekjen Deplu, saya berupaya mendapatkan tiket pulang meski harus mengupgrade tiket ekonomi yang saya pegang menjadi business (tentunya dengan tambahan biaya yang tidak sedikit). Saya masih ingat ketika dalam penerbangan Dili-Denpasar, duduk sederetan dengan saya Gubernur Timtim Abilio Soares yang tampaknya akan ke Jakarta pula. Saya perhatikan ia lebih banyak diam dan membisu, hanya sesekali berbincang dengan Ketua DPRD yang duduk di sebelahnya. Mungkin ia sedang risau akan masa masa depan Timtim dan dirinya.
Karena waktu yang sangat mendesak dan berpikir akan kembali ke Dili seusai mengikuti tes Sekdilu, saya ke Jakarta hanya membawa pakaian di badan dan dokumen perjalanan. Sementara barang bawaan lainnya saya tinggal di Dili. Ternyata apa yang terjadi kemudian memperlihatkan hal yang berbeda, seusai mengikuti tes Sekdilu saya dilarang kembali ke Dili karena dipandang telah menyalahi prosedur dengan meninggalkan pos. Pimpinan unit dimana saya bekerja di Jakarta tidak bisa menerima penjelasan bahwa saya kembali dengan seijin Ketua Satgas dan Sekjen Deplu. Hal ini tentu saja sangat mengecewakan, bukan karena saya tidak dapat melanjutkan tugas dan barang-barang saya masih tertinggal di Dili, tetapi karena melihat sikap pimpinan di unit kerja yang tidak mendukung anak buahnya untuk maju lewat pendidikan.
Mengingat kejadian di atas saya tentu saja sedih dan semakin sedih ketika pada akhirnya hasil referendum memperlihatkan dukungan mutlak masyarakat Timtim terhadap pro kemerdekaan. Beruntung kekecewaan saya terobati karena berhasil lulus tes masuk Sekdilu dan mulai mengikuti pendidikan pada bulan Oktober 1999. Kini ketika berkesempatan kembali ke Timor Leste, walau hanya seminggu, saya ingin menuntaskan sedikit kenangan tentang Dili. Bukan hanya kotanya, tetapi juga peristiwa-peristiwa yang melingkupinya.
No comments:
Post a Comment