Bukanlah suatu kebetulan jika kita kerap menjumpai kemacetan di berbagai tempat. Kemacetan telah menjadi menu sehari-hari bagi masyarakat Jakarta. Rasanya tidak ada jalan raya yang bebas dari kemacetan. Justru yang ada adalah semakin bertambahnya titik-titik kemacetan di berbagai tempat. Tidak mengherankan jika kemacetan menjadi topik hangat, sekaligus mengesalkan dan bahkan menimbulkan stress bagi sebagian besar pengguna jalan raya.
Untuk mengatasi kemacetan tersebut, Pemda DKI memang telah melakukan berbagai upaya seperti meningkatkan jumlah kendaraan angkutan umum, memperlebar jalan raya, ataupun memperkenalkan sistem angkutan massal seperti busway dan kereta api atau menggeser jam sekolah. Namun upaya mengurangi kemacetan ternyata belum sejalan dengan tingkat pertumbuhan penduduk dan kendaraan. Lihat saja bagaimana jumlah kendaraan bermotor, khususnya roda dua dan empat, terus bertambah setiap bulannya. Bahkan di saat krisis ekonomi pun, jumlah kendaraan baru terus bertambah.
Menyadari bahwa kemacetan tidak dapat dipecahkan segera, beberapa anggota masyarakat tampaknya berupaya mengambil inisiatif untuk mensiasati kemacetan, walau untuk itu harus menyisihkan pengguna jalan lainnya, dengan menggunakan vorider untuk membuka jalan yang macet.
Penggunaan vorider untuk membuka jalan tampaknya semakin banyak dipakai oleh beberapa anggota masyarakat ibu kota. Hari ini saja misalnya, setidaknya empat kali saya terpaksa menepikan kendaraan untuk memberi kesempatan kepada vorider dan kendaraan dibelakangnya untuk mendahului. Pertama, ketika kendaraan polisi PJR (Patroli Jalan Raya) yang dengan sirinenya yang meraung-raung mencoba membuka jalan bagi sebuah sedan yang jenisnya sama dengan kendaraan dinas menteri.
Kedua, ketika sebuah motor vorider polisi militer dengan sirine yang juga meraung-raung membuka jalan bagi sebuah kendaraan dinas berwarna abu-abu dan di atas plat nomor kendaraan tersebut terdapat tanda bintang dua berwarna emas. Pada peristiwa ketiga dan keempat, lagi-lagi sebuah motor vorider membuka jalan bagi kendaraan dinas berwarna hijau dengan tanda bintang satu di atas plat nomor kendaraan.
Di tengah kemacetan Jakarta, penggunaan vorider tentunya merupakan hal yang istimewa. Bagaimana tidak, ketika para pengemudi lainnya harus mengantri dan merayapi kemacetan, kendaraan yang menggunakan vorider bisa menyeruak di tengah kemacetan. Pertanyaannya kemudian adalah siapakah mereka sehingga bisa memperoleh perlakuan istimewa di jalan raya?
Lazimnya, yang dapat memperoleh perlakuan istimewa adalah Presiden/Wakil Presiden dan pejabat tinggi setingkat menteri serta tamu setingkat kepala negara/pemerintahan. Mengingat tugas dan tanggungjawabnya, saya dapat memaklumi kalau mereka mendapat perlakuan istimewa dalam penggunaan jalan raya. Selain itu, perlakuan istimewa dapat pula diberikan kepada kendaraan ambulans yang membawa orang sakit.
Sebagai pembanding, di beberapa negara Uni Eropa (UE), perlakuan istimewa penggunaan jalan raya hanya diberikan kepada kepala negara/pemerintahan seperti raja/ratu atau perdana menteri serta tamu negara setingkat Kepala Negara/Pemerintahan dan tentu saja ambulans. Kepada mereka diberikan vorider untuk memperlancar perjalanan, sedangkan ambulans diperkenankan untuk membunyikan sirene. Sementara pejabat dibawahnya, termasuk wakil perdana menteri dan para menteri, tidak berhak untuk mendapatkan pengawalan vorider. Saking tegasnya penerapan peraturan di jalan raya, terkadang memunculkan kekakuan dalam masalah keprotokolan.
Mengenai kekakuan pengaturan keprotokoleran, saya jadi teringat pengaturan bagi Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) saat berkunjung ke Brussels, Belgia, pada akhir tahun 2006. Saat itu Pak JK sedang melakukan kunjungan kerja dalam rangka memenuhi undangan Sekjen Dewan UE, Javier Solana. Kalau di tanah air, Pak JK tentunya bisa mendapatkan perlakuan istimewa saat berkendaraan di jalan raya. Namun tidak demikian halnya dengan di Belgia. Dalam ketentuan keprotokolan disana, kedudukan wapres dianggap sejajar dengan wakil perdana menteri atau menteri. Karena itu, Pak JK tidak berhak untuk mendapatkan pengawalan vorider. Meski telah dilobby secara intensif, pemerintah Belgia bersikukuh menerapkan ketentuan protokoler tersebut. Akhirnya sampai saat Pak JK meninggalkan Brussels, tidak ada vorider resmi yang disediakan Pemerintah Belgia.
Alasan pihak protokol Belgia untuk tidak memberikan perlakuan istimewa di jalan raya terhadap pejabat setingkat menteri karena sebagai host country dari Markas Besar UE, hampir setiap hari Brussels dikunjungi banyak pejabat tinggi negara termasuk para menteri, baik dari sesama negara anggota UE maupun non-UE. Kalau kepada mereka diberikan perlakuan istimewa seperti penyediaan vorider, seberapa banyak tenaga dan kendaraan yang dibutuhkan. Meskipun Belgia termasuk negara yang memiliki GNP tinggi (sekitar US$ 35 ribu), namun dalam rangka efisiensi dan efektifitas tetap saja harus melakukan perhitungan anggaran dengan cermat. Belum lagi pemberian perlakuan istimewa akan memacetkan jalan raya dan merugikan para pengguna jalan lainnya, yang notabene adalah para pembayar pajak.
Beruntung Indonesia tidak setiap hari menerima kunjungan kepala negara/pemerintahan atau menteri negara asing. Sehingga tidak setiap hari pula kita melihat pemandangan sebuah jalan raya ditutup karena ada pejabat tinggi atau tamu negara akan lewat. Namun demikian, hal tersebut bukan berarti membenarkan pemberian perlakuan istimewa penggunaan jalan raya kepada siapa pun. Selain menimbulkan kejengkelan dan perasaan iri, mengistimewakan penggunaan jalan bagi mereka yang tidak berhak justru memperlihatkan sikap kesewenang-wenangan dan pengabaian hak-hak pengguna jalan lainnya.
Untuk mengatasi kemacetan tersebut, Pemda DKI memang telah melakukan berbagai upaya seperti meningkatkan jumlah kendaraan angkutan umum, memperlebar jalan raya, ataupun memperkenalkan sistem angkutan massal seperti busway dan kereta api atau menggeser jam sekolah. Namun upaya mengurangi kemacetan ternyata belum sejalan dengan tingkat pertumbuhan penduduk dan kendaraan. Lihat saja bagaimana jumlah kendaraan bermotor, khususnya roda dua dan empat, terus bertambah setiap bulannya. Bahkan di saat krisis ekonomi pun, jumlah kendaraan baru terus bertambah.
Menyadari bahwa kemacetan tidak dapat dipecahkan segera, beberapa anggota masyarakat tampaknya berupaya mengambil inisiatif untuk mensiasati kemacetan, walau untuk itu harus menyisihkan pengguna jalan lainnya, dengan menggunakan vorider untuk membuka jalan yang macet.
Penggunaan vorider untuk membuka jalan tampaknya semakin banyak dipakai oleh beberapa anggota masyarakat ibu kota. Hari ini saja misalnya, setidaknya empat kali saya terpaksa menepikan kendaraan untuk memberi kesempatan kepada vorider dan kendaraan dibelakangnya untuk mendahului. Pertama, ketika kendaraan polisi PJR (Patroli Jalan Raya) yang dengan sirinenya yang meraung-raung mencoba membuka jalan bagi sebuah sedan yang jenisnya sama dengan kendaraan dinas menteri.
Kedua, ketika sebuah motor vorider polisi militer dengan sirine yang juga meraung-raung membuka jalan bagi sebuah kendaraan dinas berwarna abu-abu dan di atas plat nomor kendaraan tersebut terdapat tanda bintang dua berwarna emas. Pada peristiwa ketiga dan keempat, lagi-lagi sebuah motor vorider membuka jalan bagi kendaraan dinas berwarna hijau dengan tanda bintang satu di atas plat nomor kendaraan.
Di tengah kemacetan Jakarta, penggunaan vorider tentunya merupakan hal yang istimewa. Bagaimana tidak, ketika para pengemudi lainnya harus mengantri dan merayapi kemacetan, kendaraan yang menggunakan vorider bisa menyeruak di tengah kemacetan. Pertanyaannya kemudian adalah siapakah mereka sehingga bisa memperoleh perlakuan istimewa di jalan raya?
Lazimnya, yang dapat memperoleh perlakuan istimewa adalah Presiden/Wakil Presiden dan pejabat tinggi setingkat menteri serta tamu setingkat kepala negara/pemerintahan. Mengingat tugas dan tanggungjawabnya, saya dapat memaklumi kalau mereka mendapat perlakuan istimewa dalam penggunaan jalan raya. Selain itu, perlakuan istimewa dapat pula diberikan kepada kendaraan ambulans yang membawa orang sakit.
Sebagai pembanding, di beberapa negara Uni Eropa (UE), perlakuan istimewa penggunaan jalan raya hanya diberikan kepada kepala negara/pemerintahan seperti raja/ratu atau perdana menteri serta tamu negara setingkat Kepala Negara/Pemerintahan dan tentu saja ambulans. Kepada mereka diberikan vorider untuk memperlancar perjalanan, sedangkan ambulans diperkenankan untuk membunyikan sirene. Sementara pejabat dibawahnya, termasuk wakil perdana menteri dan para menteri, tidak berhak untuk mendapatkan pengawalan vorider. Saking tegasnya penerapan peraturan di jalan raya, terkadang memunculkan kekakuan dalam masalah keprotokolan.
Mengenai kekakuan pengaturan keprotokoleran, saya jadi teringat pengaturan bagi Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) saat berkunjung ke Brussels, Belgia, pada akhir tahun 2006. Saat itu Pak JK sedang melakukan kunjungan kerja dalam rangka memenuhi undangan Sekjen Dewan UE, Javier Solana. Kalau di tanah air, Pak JK tentunya bisa mendapatkan perlakuan istimewa saat berkendaraan di jalan raya. Namun tidak demikian halnya dengan di Belgia. Dalam ketentuan keprotokolan disana, kedudukan wapres dianggap sejajar dengan wakil perdana menteri atau menteri. Karena itu, Pak JK tidak berhak untuk mendapatkan pengawalan vorider. Meski telah dilobby secara intensif, pemerintah Belgia bersikukuh menerapkan ketentuan protokoler tersebut. Akhirnya sampai saat Pak JK meninggalkan Brussels, tidak ada vorider resmi yang disediakan Pemerintah Belgia.
Alasan pihak protokol Belgia untuk tidak memberikan perlakuan istimewa di jalan raya terhadap pejabat setingkat menteri karena sebagai host country dari Markas Besar UE, hampir setiap hari Brussels dikunjungi banyak pejabat tinggi negara termasuk para menteri, baik dari sesama negara anggota UE maupun non-UE. Kalau kepada mereka diberikan perlakuan istimewa seperti penyediaan vorider, seberapa banyak tenaga dan kendaraan yang dibutuhkan. Meskipun Belgia termasuk negara yang memiliki GNP tinggi (sekitar US$ 35 ribu), namun dalam rangka efisiensi dan efektifitas tetap saja harus melakukan perhitungan anggaran dengan cermat. Belum lagi pemberian perlakuan istimewa akan memacetkan jalan raya dan merugikan para pengguna jalan lainnya, yang notabene adalah para pembayar pajak.
Beruntung Indonesia tidak setiap hari menerima kunjungan kepala negara/pemerintahan atau menteri negara asing. Sehingga tidak setiap hari pula kita melihat pemandangan sebuah jalan raya ditutup karena ada pejabat tinggi atau tamu negara akan lewat. Namun demikian, hal tersebut bukan berarti membenarkan pemberian perlakuan istimewa penggunaan jalan raya kepada siapa pun. Selain menimbulkan kejengkelan dan perasaan iri, mengistimewakan penggunaan jalan bagi mereka yang tidak berhak justru memperlihatkan sikap kesewenang-wenangan dan pengabaian hak-hak pengguna jalan lainnya.
8 comments:
mas AHU sy ngelamar jadi vorider nya mas AHU ya kalo nanti jadi "petinggi negara". hehehehehehe
yah minimal jadi pamkom nya lah
antz
Terima kasih atas doanya. Lamaran ditampung hehehehe
Saya mah ndukung saja ;)
wah mas.. di sini keluarga pejabat juga bisa pake vorider, lho.. gak heran deh jalan yg sdh sesak tambah mepet... :-)
@Ika Pratiwi:
Dukung yang mana nich mbak? dukung penggunaan vorider ? :-) Tks ya sudah mampir. Salam.
@Susan:
Itu lah dia mbak, jalanan udah macet, ech jadi tambah macet. Untung Amar enggak minta pakai vorider juga ya ...
mas....perlakuan PJR memang saat ini makin meresahkan, gimana nih kita musti percaya sama siapa sekarang, kalau aparat negaranya aja kaya gitu
kalau saya mau brkt jualan soto, mau apa enggak ya kawal gerobag soto saya, biar cepet nyampe gitu....
wah mas....jabatannya ngga seberapa,brkt kerja aja minta voorijder, gimana kalau saya mau brkt dagang soto minta voorijder u/ kawal gerobag soto saya, mau nggak ya..? saya mah neg liat kelakuan PJR
Post a Comment