22.10.06

Mari memaafkan di hari Lebaran

Berbeda dengan di tanah air yang masih sibuk menentukan jatuhnya 1 Syawal atau Hari Raya Idul Fitri, di Brussel, Den Haag dan beberapa kota besar lainnya di Eropa tidak terdapat perbedaan pendapat mengenai Hari Raya Idul Fitri. Islamic Centre di kota-kota tersebut telah menetapkan bahwa Idul Fitri jatuh pada hari Senin, tanggal 23 Oktober 2006.

Namun terlepas dari apakah Idul Fitri jatuh pada hari Senin atau Selasa, 24 Oktober 2006, yang jelas Idul Fitri atau Lebaran akan tetap tiba juga. Dan bagi saya hal tersebut tidak memiliki pengaruh apapun, terutama yang terkait dengan ritual-ritual menjelang dan sesudah Lebaran, seperti mudik dan open house. Dalam hal mudik, sudah beberapa kali Lebaran saya tidak mudik, termasuk tahun ini. Jadi tidak ada kerepotan-kerepotan mudik saat Lebaran.

Saya juga tidak berniat mengadakan open house atau house warming. Alasannya sederhana, pertama, saya bukanlah seorang pejabat. Lagi pula kalau saya seorang pejabat, eloknya saya lah yang semestinya mendatangi orang-orang lain. Karena sebagai pejabat, bisa jadi setiap langkah, sikap dan kebijakan yang kita ambil, dapat menyinggung perasaan orang-orang lain tersebut. Kedua, rumah saya sebenarnya selalu terbuka untuk kunjungan siapa pun, bukan hanya saat Lebaran tetapi juga pada hari-hari lainnya.

Terkait dengan makna bahwa Lebaran merupakan waktu yang tepat untuk bersikap saling memaafkan, saya si oke-oke saja. Apalagi saya baru saja baca salah satu artikel di Koran Kompas mengenai nasihat orang Bugis yang dikutip si penulis, begini bunyinya Ingerangi duwa perkara, alupai duwa perkara. Ingatlah hal baik yang dilakukan orang kepadamu, dan hal buruk yang kau lakukan kepada orang lain. Lupakanlah hal baik yang kau lakukan kepada orang lain, dan hal buruk yang dilakukan orang lain kepadamu. Namun masalahnya adalah apakah kegiatan maaf memaafkan itu harus menunggu Lebaran? Setelah dosa, kekeliruan dan sikap yang tidak baik yang kita lakukan bertumpuk-tumpuk, terutama dalam hubungan dengan sesama manusia. Dan ketika Lebaran usai, apakah kita telah sungguh-sungguh memaafkan orang lain?

Ketika hal di atas saya sampaikan ke seorang teman, dengan nada pragmatis teman saya tersebut bilang: ah itu sih tergantung kondisi, seberapa besar kesalahan orang lain tersebut kepada kita. Kalau cuma sekedar kesalahan dan kekeliruan kecil sih enggak masalah. Gue bisa memaafkan 100%. Hanya saja kalau kesalahannya sangat besar dan selalu diulang-ulang, gue sih mikir-mikir banget. Emangnya enak setelah kita ”dijajah” sekian lama, terus kita memaafkan kesalahan si ”penjajah” dalam sehari saat Lebaran. Seolah tidak ingin memberikan kesempatan saya untuk berkomentar, teman saya menambahkan: Elo juga tadi pasti denger kan ceramah Ramadhan mengenai perlunya kita meneladani sikap Nabi Muhammad SAW, yang saat dihina dan dilecehkan orang lain, bahkan tetap bersikap baik dan memaafkan kepada orang yang selalu menghina dan melecehkannya tersebut. Dan bahkan juga menjenguk si orang tersebut saat sakit dan mendoakan kepada Allah SWT agar yang bersangkutan disembuhkan. Gue ingin sekali meneladani jejak Rasullulah, tapi gue masih manusia biasa yang tahapan keimanannya masih sangat jauh dari perilaku Rasul. Jadi belum bisa deh gue bersikap seperti Beliau, yah setidaknya saat ini.

Mendengar pernyataan tersebut, saya mencoba memahami perkataannya dan mengaitkannya dengan alasan-alasan dibelakangnya. Dari cerita teman saya sebelum-sebelumnya, saya tahu bahwa ia saat ini sedang tidak cocok dengan bossnya. Menurutnya, ia sekarang memiliki boss yang sikapnya sangat otoriter, baik di kantor maupun di luar. Tidak boleh ada perdebatan dan cenderung mencari kesalahan bawahannya, bahkan seringkali menyerang pribadi. Teman saya tersebut tampaknya kecewa karena tidak diperlakukan semestinya, sehingga merasa seperti seorang ”terjajah”. Masih menurut teman saya, bahkan beberapa rekannya sudah pindah ke perusahaan lain karena merasa tidak tahan dijajah. Teman saya tersebut sebenarnya juga ingin pindah, namun dengan berbagai pertimbangan, keinginan tersebut selalu ditunda-tunda.

Dengan alasan sepetti tersebut di atas, lalu salahkan teman saya itu jika setelah Lebaran ia tidak juga mau bersungguh-sungguh memaafkan si bossnya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya mencoba mencari makna Lebaran dan maaf yang melingkupinya. Menurut seorang pakar pendidikan, tampaknya terdapatnya kecenderungan bahwa Lebaran tidak lebih dari sebuah ”pesta” setelah mengikuti ”ujian” di bulan Ramadhan. Dan seperti layaknya pesta, biasanya orang akan bersenang-senang dan tidak perlu lagi mengingat-ingat materi yang dipelajari dan diujikan. Karenanya tidak mengherankan jika seseorang berbuat baik hanya saat menjalankan ibadah puasa Ramadhan dan setelahnya back to basic alias business as usual. Beda halnya jika kita memandang Lebaran sebagai suatu tahapan dari selesainya suatu pelatihan. Sebuah pelatihan adalah investasi. Puasa adalah investasi karena merupakan ”modal” untuk hidup 11 bulan ke depan. Menurut sang pakar, mengukur kesuksesan dari latihan yang dijalani ibarat mengukur kesuksesan suatu pagelaran seni. Kesuksesan pagelaran seni baru terlihat dari pementasannya bukan saat latihannya. Begitu pun dengan puasa, puasa juga baru bisa dikatakan berhasil pementasannya setelah kita selesai berpuasa.

Dari penjelasan di atas, maka saya melihat bahwa salah satu keberhasilan kita berpuasa adalah bila kita mampu mencapai sasaran berpuasa yaitu mengalahkan musuh terbesar, diri kita sendiri. Salah satunya adalah sikap saling memaafkan. Namun seperti lazimnya hubungan antar manusia, maaf memaafkan tidak bisa satu arah, melainkan harus timbal balik. Bisa saja teman saya tersebut akhirnya ikhlas memaafkan bossnya, tapi kalau perilaku bossnya masih seperti Idi Amin, ya sudah pasti akan memunculkan kembali bara kemarahan yang sempat padam saat Lebaran. Jadi tanpa bermaksud menggurui teman saya atau yang lainnya, akhirnya saya ucapkan ”marilah kita saling memaafkan di hari Lebaran. Selamat Idul Fitri 1427H, Minal Aidin Wal Faidzin. Mohon Maaf Lahir ”.

1 comment:

Anonymous said...

Ass. Wr Wb

Kami sekeluarga mengucapkan SELAMAT HARI RAYA
IDUL FITRI 1427 H
MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN


Wass. Wr. Wb
Bambang Prihartadi dan keluarga