17.5.09

Pelatih Liverpool Ternyata Belajar dari Politisi Indonesia

Kompas.com tanggal 16 Mei 2009 memuat berita mengenai pernyataan Pelatih Liverpool Rafael Benitez yang menyatakan bahwa Manchester United (MU) tidak lebih baik dibandingkan timnya, MU hanya memiliki poin lebih banyak dibanding “The Reds”. Alasan yang dikemukakan antara lain adalah dalam musim komptesi Liga Inggris 2008/20009 ini MU secara keseluruhan telah mengalami kekalahan sebanyak empat kali (dua diantaranya lawan Liverpool), sementara Liverpool hanya kalah dua kali.

Pernyataan Benitez tersebut tentu saja membuat saya tersenyum geli. Bagaimana tidak, pernyataan tersebut langsung mengingatkan saya akan pernyataan seorang politisi senior Indonesia saat kalah dalam pemilihan presiden (pilpres) tahun 2004. Politisi senior yang juga ketua umum parpol tersebut dengan sangat yakin mengatakan bahwa dirinya tidak kalah dari lawannya, hanya kurang jumlah suara yang diperolehnya. Saking yakinnya, politisi cantik yang kini maju kembali dalam bursa pilpres 2009 tersebut hingga kini tidak pernah mau mengakui kekalahannya.

Saya juga jadi tersenyum geli jika menyandingkan pernyataan Benitez dengan pernyataan seorang ketua umum parpol lainnya di Indonesia, yang mengatakan bahwa sebagai pemenang keempat pemilu legislatif (pileg) adalah wajar jika partainya mengajukan seorang cawapres. Saya melihat adanya suatu kesamaan diantara keduanya.

Benitez lupa bahwa pemenang kompetisi Liga Inggris ditentukan berdasarkan perolehan poin terbanyak secara keseluruhan, bukan sekedar hasil head-to-head atau jumlah gol yang dijaringkan ke gawang lawan. Benitez juga lupa bahwa MU ternyata lebih banyak meraih kemenangan dibanding Liverpool. Sejauh ini MU telah memenangkan pertandingan sebanyak 27 kali sementara Liverpool baru menorehkan kemenangan sebanyak 23 kali.

Sama halnya dengan Benitez, sang ketua umum parpol sepertinya lupa kalau persyaratan untuk mengajukan capres/cawapres harus didukung minimal 20% suara pileg atau 25% jumlah kursi di DPR. Jika hanya meraih suara sebanyak delapan koma sekian persen jelas jauh dari memadai untuk mengajukan nama capres/cawapres. Sang ketua umum parpol tersebut juga lupa kalau pencalonan capres/cawapres harus satu paket, tidak bisa batangan seperti halnya membeli sebatang rokok di warung kaki lima.

Balik ke Benitez, rupanya pelatih asal Spanyol ini selain piawai melatih bola, juga berbakat sebagai politikus. Benitez tampaknya tahu persis kemana harus berguru ilmu berkelit. Benitez sangat paham bahwa kalau dirinya tidak pandai berkelit maka sewaktu-waktu ia akan didepak dari kursi kepelatihan Liverpool. Berbeda dengan kursi politisi di Indonesia yang umumnya adem ayem, kursi kepelatihan Liverpool dan Inggris pada umumnya merupakan kursi panas, gagal mencapai target siap didepak. Teman-temanya sesama pelatih di klub liga Inggris lainnya sudah sering merasakan betapa tidak enaknya disuruh mundur oleh pengurus klub karena tim yang dilatihnya keok melulu.

Selamat Benitez, anda telah sukses berkelit, tapi maaf MU tetap menjadi juara liga Inggris 2008/2009. Bahkan Arsenal tidak mampu menunda perayaan peraihan gelar di Stadion Old Traford.

Tulisan ini dapat dibaca juga di Kompasiana.com

5 comments:

bung tobing said...

waah, menarik sekali mas Aris, menghubungkan sepakbola dengan politik. ya, saya teringat betul pernyataan beliau waktu kalah di tahun 2004, terasa sama dengan benitez kalau dipikir2.

Darson GO Blog said...

wah ada benernya juga ya bung Aris, sebab itulah secara tidak langsung sepak bola di indonesia sering di jadikan mesin politik para politisi

iman brotoseno said...

yang penting pintar " Ngeles "

Aris Heru utomo said...

@Bung Tobing: tks bung atas komentarnya, salam hangant dari jakarta

@Bung Darson: Ya mungkin itu juga sebabnya sepakbola Indonesia gak maju2 karena cuma jadi kendaraan politik

@Mas Iman: hehehehe benar sekali

siuma said...

berarti calon presiden yang kalah kompetisi bisa memylai karier di premier league. ayo nanti dapat gelar sir