Namun belum lagi tinta untuk menandatangani dokumen ratifikasi kering dan Piagam ASEAN disahkan pada KTT ASEAN bulan Desember 2008 di Bangkok, stabilitas keamanan di kawasan Asia Tenggara terusik dengan terjadinya baku tembak antara tentara Thailand dan Kamboja di Candi Hindu kuno, Prah Vihear di Provinsi Si Sa Ket pada 15 Oktober 2008 pukul 2.45 siang. Baku tembak yang menewaskan 2 orang tentara Kamboja dan mencederai 5 tentara Thailand, terjadi sehari setelah PM Thailand Somchai Wongsawat mengabaikan ultimatum PM Kamboja Hun Sen untuk menarik pasukannya dari daerah konflik.
Insiden perbatasan tersebut tentu saja memprihatinkan dan mengkhawatirkan. Kenapa Thailand dan Kamboja memiliki jalan kekerasan. Padahal dalam kerangka ASEAN, telah ada Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama di Asia Tenggara (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia atau TAC) yang bisa dijadikan pedoman dalam penyelesaian konflik. Pasal 13 TAC misalnya menyebutkan: “… In case disputes on matters directly affecting them should arise, especially disputes likely to disturb regional peace and harmony, they shall refrain from the threat or use of force and shall at all times settle such disputes among themselves through friendly negotiations”.
Negosiasi merupakan kata kunci dalam setiap penyelesaian konflik, yang dalam konteks ASEAN dapat dilakukan secara bilateral ataupun melalui jasa baik High Council. Namun dalam praktiknya, setiap konflik yang terjadi di ASEAN belum pernah diselesaikan secara internal, melainkan dibawa ke Mahkamah Internasional.
Dalam kasus Thailand – Kamboja, status Kuil Preah Vihear yang disengketakan diselesaikan melalui penetapan Mahkamah Internasional yang memutuskan kuil tersebut sebagai milik Kamboja. Sayangnya wilayah di sekitarnya seluas 4,6 km2 belum diputuskan status kepemilikannya dan tetap menjadi sumber konflik.
Masih hangat pula dalam ingatan ketika Indonesia berkonflik dengan Malaysia memperebutkan Sipadan dan Ligitan. Masalah tersebut baru terselesaikan setelah ada keputusan Mahkamah Internasional. Sementara untuk kasus Ambalat, Indonesia harus mengerahkan kekuatan militernya untuk menggertak Malaysia yang masih mencoba-coba mengganggu kedaualatan Indonesia di atas wilayah tersebut.
Semua peristiwa tersebut di atas tentunya menjadi tantangan bagi ASEAN untuk menyelesaikan pertikaian secara damai. Mampukah ASEAN yang telah memiliki Piagam bersama dapat menyelesaikan konflik internal berdasarkan mekanisme yang telah disepakati, misalnya yang tampak dalam Bab VIII pasal 22-27 Piagam ASEAN. Salah satu mekanisme penyelesaian sengketa yang menarik adalah lembaga Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN. Pasal 27 menyebutkan: ”Apabila suatu sengketa tetap tidak terselesaikan, setelah penerapan ketentuan-ketentuan terdahulu dari Bab ini, maka sengketa ini wajib dirujuk ke KTT ASEAN, untuk keputusannya”.
Penetapan lembaga KTT ASEAN untuk menyelesaikan sengketa menjadi menarik karena menuntut komitmen setiap negara anggota untuk dapat menaati setiap keputusan yang dihasilkan. Sesuatu yang tidak mudah karena melibatkan kedaulatan suatu negara, apalagi ASEAN sendiri masih memegang teguh prinsip non-interference dalam urusan dalam negeri suatu negara anggota.
Dengan telah diratifikasi oleh seluruh negara anggota ASEAN dan akan disahkan pada KTT ASEAN ke-14 di Bangkok bulan Desember 2008 mendatang, patut kita tunggu apakah Ketua ASEAN dan negara-negara ASEAN lainnya dapat menerapkan kesepakatan dasar tersebut. Ironisnya, Ketua dan Sekretaris Jenderal ASEAN sekarang adalah Thailand. Mampukah Thailand bersikap obyektif dan dapatkah Kamboja menerima keputusan KTT seandainya wilayah seluas 4,6 km2 ternyata diakui sebagai milik Thailand?
Keterangan foto: wilayah yang disengketakan adalah wilayah antara garis pink dan kuning. Garis kuning diklaim oleh Thailand, yaitu wilayah di luar Candi Phrea Vihear. Candinya sendiri milik Kamboja. Dan titik merah tempat yang diduga sebagai tempat terjadinya baku tembak.
No comments:
Post a Comment