Kalau hari-hari belakangan ini masyarakat di ibu kota Belgia, Brussel banyak yang mengibarkan bendera nasional, itu bukan karena mereka sedang merayakan hari kemerdekaan atau hari kelahiran raja. Masyarakat Brussel justru sedang prihatin dengan krisis politik yang berlangsung sejak pemilu nasional tanggal 10 Juni 2007. Lazimnya kehidupan di negara yang demokratis, setelah pemilu selesai maka dalam waktu yang tidak terlalu lama akan disusul dengan pembentukan pemerintahan di tingkat nasional. Biasanya jika partai politik yang berkuasa memenangi pemilu, maka pemerintahan yang dibentuk merupakan kelanjutan dari sebelumnya. Namun sebaliknya, jika partai politik yang berkuasa tidak berhasil memenangi pemilu, yang muncul adalah pemerintah baru yang dipimpin partai politik pemenang pemilu.
Sayangnya kelaziman untuk segera membentuk pemerintahan nasional tidak berlaku di Belgia. Hingga tepat 4 bulan setelah pemilu, belum ada tanda-tanda tercapainya suatu kesepakatan terbentuknya suatu pemerintahan. Selama 4 bulan itu pula pemerintahan dibiarkan kosong dan hanya dijalankan oleh pejabat sementara yang tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan poltik yang sangat penting. Selama 4 bulan itu pula masyarakat Belgia banyak yang bersikap apatis, karena tanpa pemerintahan nasional pun roda kehidupan sehari-hari berjalan seperti biasanya. Tampaknya akibat kekosongan pemerintahan belum terasa di masyarakat, seperti kehebohan hanya berlangsung di kalangan elit politik saja.
Ketidakpedulian masyarakat terhadap krisis politik tidaklah mengherankan, karena sebagai salah satu negara pendiri Uni Eropa (UE), Belgia selama ini dikenal memiliki stabilitas ekonomi dan politik yang baik. Secara ekonomi negara ini merupakan salah satu negara yang memiliki pendapatan per kapita tertinggi yaitu sebesar US$ 31.800, bandingkan dengan Indonesia yang pendapatan per kapitanya sebesar US$ 3.700. Secara politik, penetapan Brussel sebagai markas besar UE, memperlihatkan peran penting dan netralitas Belgia dalam mempersatukan berbagai kepentingan negara anggota UE.
Namun dibalik ketenangan tersebut, sebenarnya tersimpan potensi konflik yang siap meledak. Sebagai suatu negara kerajaan yang menganut pemerintahan federal, masyarakat di Belgia terbagi dalam dua kelompok besar masyarakat yaitu masyarakat yang berbahasa Belanda (Vlams) yang menghuni kawasan Flanders di utara dan masyarakat berbahasa Perancis yang tinggal di kawasan Wallon di Selatan.
Dalam praktiknya, dikotomi keduanya sangat jelas dalam berbagai kegiatan, contohnya adalah dalam hal pengelolan dan pengajaran di sekolah. Di Belgia dikenal ada sekolah berbahasa Belanda, yang dibiayai dan dikelola pemerintah Propinsi Vlams dan sekolah berbahasa Perancis yang pengelolaannya dan pembiayaannya berasal dari pemerintah Propinsi Wallon.
Kedua masyarakat inilah yang saling berhadapan secara politis, terutama masyarakat Vlams yang lantang menyuarakan tuntutan memperoleh kewenangan yang lebih luas bagi pemrintahan propinsi.
Isu kemerdekaan
Sejauh ini penyebab belum terbentuknya pemerintahan nasional tidak terlepas dari sulitnya mengakomodir tuntutan masyarakat Vlams untuk mendapat kewenangan yang lebih luas, dengan mengurangi kewenangan pemerintah federal (pusat). Dalam pandangan masyarakat Vlams, pemerintah federal terlalu banyak memiliki kewenangan yang tidak sejalan dengan keinginan pemerintah propinsi, terutama yang terkait dengan sektor keuangan. Masyarakat Vlams menuntut beberapa sektor seperti ketenagakerjaan, kesehatan, keadilan dan transportasi, diserahkan ke pemerintah propinsi. Ancamannya adalah pemisahan diri masyarakat Vlams dari negara federal.
Isu pemisahan semakin menguat sejalan dengan keberhasilan masyarakat Vlams dalam memelihara pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari masyarakat Wallon. Masyarakat Vlams tidak sependapat dengan kebijakan Pemerintah Federal yang mensubsidi masyarakat Wallon menggunakan kelebihan pendapatan masyarakat Vlams. Masyarakat Vlams justru menginginkan agar tingginya tingkat pendapatan yang diperoleh dimanfaatkkan untuk lebih mensejahterakan masyarakat Vlams.
Keinginan untuk memerdekan diri tampaknya juga diakomodir para politisi dan dijadikan dagangan sentral dalam pemilu. Hal tersebut tentu saja mendorong sebagian masyarakat mendukung upaya pemisahan diri. Jajak pendapat yang dilakukan 2 harian terbesar di Belgia, De Standaard dan Le Soir, memperlihatkan adanya peningkatan peningkatan anggota masyarakat yang mendukung kemerdekaan hingga menjadi 40%.
Tuntutan masyarakat Vlams seperti tersebut di atas, tentu saja tidak serta merta diterima oleh partai-partai politik peserta pemilu lainnya. Jika tuntutan tersebut diakomodir, maka hal tersebut sama saja dengan memangkas kewenangan Pemerintahan Federal dan menjadikan kedua negara bagian di Belgia, Vlams dan Wallonia. Hal inilah yang apa akhirnya menjadikan sangat molornya pembentukan pemerintahan nasional di Belgia.
Masa depan Belgia
Meski jumlah masyarakat Vlams yang mendukung ide pemisahan diri terus meningkat, namun para anggota Parlemen Vlams tampaknya cenderung bersikap hati-hati. Hal ini tampak dari hasil sidang pembukaan Parlemen Vlams tanggal 10 September 2007, dimana suatu usulan referendum mengenai kemerdekaan ditolak. Mayoritas anggota Parlemen Vlams justru menginginkan ”reformasi negara Belgia” melalui perundingan dengan masyarakat Wallon, bukan dengan tindakan unilateral oleh masyarakat Vlams.
Sikap anggota Parlemen Vlams yang cenderung mengedepankan perundingan ketimbang melakukan pemisahan diri memperlihatkan realisme politik mengenai sulitnya pembentukan suatu negara baru. Penyebabnya adalah posisi pemerintah ibu kota Brussel yang saat ini masih tetap berupaya netral dalam ”konflik” antara masyarakat Vlams dan Wallon. Dengan posisi geografis yang strategis secara politik dan ekonomi, sulit bagi masyarakat Vlams untuk melepaskan Brussel sebagai ibu kota. Sementara menjadikan Brussel sebagai ibu kota khusus masyarakat Vlams juga tidak mudah, karena walau secara geografis berada di wilayah utara, namun penduduknya lebih dominan masyarakat Wallon. Sehingga jika diadakan referendum pemisahan diperkirakan akan mengalami kegagalan.
Dalam konteks ini terlihat bahwa faktor Brussel memainkan peran penting dalam menegasikan proses disintegrasi yang tengah mengancam Belgia. Dengan sistem dan mekanisme pengelolaan pemerintahan yang telah berjalan baik, sejauh ini kosongnya roda pemerintahan federal memang belum memperlihatkan dampaknya. Namun jika tidak dituntaskan segera, tidak mustahil akan menggangu masa depan masyarakat Belgia secara keseluruhan dan kedudukan Brussel sebagai ibu kota UE.
Saat ini bukan hanya masyarakat Belgia yang harap-harap cemas terhadap masa depan Pemerintahan Federal Belgia, tetapi juga masyarakat UE secara keseluruhan. Masyarakat UE tidak menginginkan Belgia terpecah seperti Ceko dan Slovakia. Sejauh ini Belgia dipandang telah memberikan kontribusi nyata bagi proses integrasi kawasan UE. Jika Belgia mengalami perpecahan, maka hal tersebut dapat menjadi preseden buruk terhadap kelangsungan unifikasi UE.
Hikmah dari krisis
Krisis politik dan proses disintegrasi karena faktor etno-nasional di Belgia memperlihatkan bahwa isu-isu etno-nasionalitas sangat berpotensi mendorong proses disintegrasi. Dalam hubungan ini, tampak bawa selama lebih dari 177 tahun merdeka, Belgia belum berhasil membangun satu indentitas kebangsaan yang kuat.
Lepas dari upaya-upaya elit politik Belgia untuk mencari solusi kebuntuan pembentukan pemerintahan koalisi federal, krisis politik Belgia telah memberikan pelajaran berharga bagi Indonesia bahwa bagaimanapun proses politik berlangsung, kejadiannya tidak mengganggu aktifitas keseharian masyarakat, baik dalam menjalankan roda perekonomian ataupun pengurusan administrasi pemerintahan.
Debat dan proses politik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat yang demokratis lebih diarahkan pada upaya membangun sistem dan mekanisme pemerintahan yang baik. Jika kemudian terjadi kebuntuan politik di tataran elit, maka hal tersebut diharapkan tidak berakibat pada tersendatnya kehidupan perekonomian masyarakat.
Para politisi Indonesia juga dapat mencontoh sikap politisi Belgia yang sabar melakukan perundingan guna mencari solusi yang tepat. Permasalahan diselesaikan dengan pendekatan persuasif melalui pembicaraan secara intens. Sementara masyarakat Indonesia pun dapat belajar dalam menjaga stabilitas keamanan. Karena meskipun terjadi krisis politik, tidak berarti kemudian diikuti dengan tindakan anarkis antar pendukung partai politik.
No comments:
Post a Comment