15.10.06

Rahasia Perkawinan Nabi Muhammad SAW

Semasa hidupnya kita mengetahui bahwa Nabi Muhammad SAW pernah memiliki istri lebih dari seorang. Ya, setidaknya kita mengenal beberapa nama istri beliau seperti Khadijah, Aisha, Hafsah dan Zaynab. Kenapa saya katakan setidaknya? Karena disamping keempat nama istri Beliau tersebut, ternyata masih terdapat nama wanita-wanita lain yang pernah menjadi istri Rasullulah. Bahkan ketika menulis blog ini, sejujurnya saya tidak tahu berapa jumlah wanita yang pernah dinikahi Beliau.

Banyaknya wanita yang pernah dinikahi Nabi Muhammad SAW tentunya menimbulkan sejumlah pertanyaan, tidak saja bagi orang-orang non-muslim melainkan juga orang muslim sendiri, mengenai motif perkawinan Beliau. Dari berbagai studi yang dilakukan, pada umumnya menyimpulkan bahwa Beliau melakukan perkawinan lebih dari satu kali dengan tujuan untuk kepentingan politik dan menolong orang lain.

Ketidaktahuan saya mengenai jumlah wanita yang pernah dinikahi Nabi Muhammad dan alasan di belakangnya, akhirnya terjawab ketika menemukan sebuah blog yang menuliskan artikel berjudul ”Rahasia Dibalik Perkawinan Nabi Muhammad SAW". Menurut penulisnya, selama hidupnya Nabi Muhammad pernah menikahi 12 orang wanita. Dari berbagai usia dan suku, serta dengan motif yang berbeda-beda. Dan tentunya perkawinan yang dilakukan tidak dalam kurun waktu bersamaan.

Untuk berbagi pengetahuan, berikut saya kutipkan bagian dari tulisan tersebut, yang memuat nama-nama Istri Nabi Muhammad SAW beserta sekilas penjelasannya.

1. KHADIJAH: Nabi mengawini Khadijah ketika Nabi masih berumur 25 tahun, sedangkan Khadijah sudah berumur 40 tahun. Khadijah sebelumnya sudah menikah 2 kali sebelum menikah dengan Nabi SAW. Suami pertama Khadijah adalah Aby Haleh Al Tamimy dan suami keduanya adalah Oteaq Almakzomy, keduanya sudah meninggal sehingga menyebabkan Khadijah menjadi janda. Lima belas tahun setelah menikah dengan Khadijah, Nabi Muhammad SAW pun diangkat menjadi Nabi, yaitu pada umur 40 tahun. Khadijah meninggal pada tahun 621 A.D, dimana tahun itu bertepatan dengan Mi’raj nya Nabi Muhammad SAW ke Surga. Nabi SAW sangatlah mencintai Khadija. Sehingga hanya setelah sepeninggalnya Khadijah lah Nabi SAW baru mau menikahi wanita lain.

2. SAWDA BINT ZAM’A: Suami pertamanya adalah Al Sakran Ibn Omro Ibn Abed Shamz, yang meninggal beberapa hari setelah kembali dari Ethiophia. Umur Sawda Bint Zam’a sudah 65 tahun, tua, miskin dan tidak ada yang mengurusinya. Inilah sebabnya kenapa Nabi SAW menikahinya.

3. AISHA SIDDIQA: Seorang perempuan bernama Kholeah Bint Hakeem menyarankan agar Nabi SAW mengawini Aisha, putri dari Aby Bakrs, dengan tujuan agar mendekatkan hubungan dengan keluarga Aby Bakr. Waktu itu Aishah sudah bertunangan dengan Jober Ibn Al Moteam Ibn Oday, yang pada saat itu adalah seorang Non-Muslim. Orang-orang di Makkah tidaklah keberatan dengan perkawinan Aishah, karena walaupun masih muda, tapi sudah cukup dewasa untuk mengerti tentang tanggung jawab didalam sebuah perkawinan. Nabi Muhammad SAW bertunangan dulu selama 2 tahun dengan Aishah sebelum kemduian mengawininya. Dan bapaknya Aishah, Abu Bakr pun kemudian menjadi khalifah pertama setelah Nabi SAW meninggal.

4. HAFSAH BINT U’MAR: Hafsah adalah putri dari Umar, khalifah ke dua. Pada mulanya, Umar meminta Usman mengawini anaknya, Hafsah. Tapi Usman menolak karena istrinya baru saja meninggal dan dia belum mau kawin lagi. Umar pun pergi menemui Abu Bakar yang juga menolak untuk mengawini Hafsah. Akhirnya Umar pun mengadu kepada nabi bahwa Usman dan Abu Bakar tidak mau menikahi anaknya. Nabi SAW pun berkata pada Umar bahwa anaknya akan menikah demikian juga Usman akan kawin lagi. Akhirnya, Usman mengawini putri Nabi SAW yiatu Umi Kaltsum, dan Hafsah sendiri kawin dengan Nabi SAW. Hal ini membuat Usman dan Umar gembira.

5. ZAINAB BINT KHUZAYMA: Suaminya meninggal pada perang UHUD, meninggalkan dia yang miskin dengan beberapa orang anak. Dia sudah tua ketika nabi SAW mengawininya. Dia meninggal 3 bulan setelah perkawinan yaitu pada tahun 625 A.D.

6. SALAMA BINT UMAYYA: Suaminya, Abud Allah Abud Al Assad Ibn Al Mogherab, meninggal dunia, sehingga meninggalkan dia dan anak-anaknya dalam keadaan miskin. Dia saat itu berumur 65 tahun. Abu Bakar dan beberapa sahabat lainnya meminta dia mengawini nya, tapi karena sangat cintanya dia pada suaminya, dia menolak. Baru setelah Nabi Muhammad SAW mengawininya dan merawat anak-anaknya, dia bersedia.

7. ZAYNAB BINT JAHSH: Dia adalah putri Bibinya Nabi Muhammad SAW, Umamah binti Abdul Muthalib. Pada awalnya Nabi Muhammad SAW sudah mengatur agar Zaynab mengawini Zayed Ibn Hereathah Al Kalby. Tapi perkawinan ini kandas ndak lama, dan Nabi menerima wahyu bahwa jika mereka bercerai nabi mesti mengawini Zaynab (surat 33:37).

8. JUAYRIYA BINT AL-HARITH: Suami pertamanya adalah Masafeah Ibn Safuan. Nabi Muhammad SAW menghendaki agar kelompok dari Juayreah (Bani Al Mostalaq) masuk Islam. Juayreah menjadi tahanan ketika Islam menang pada perang Al-Mustalaq (Battle of Al-Mustalaq). Bapak Juayreyah datang pada Nabi SAW dan memberikan uang sebagai penebus anaknya, Juayreyah. Nabi SAW pun meminta sang Bapak agar membiarkan Juayreayah untuk memilih. Ketika diberi hak untuk memilih, Juayreyah menyatakan ingin masuk islam dan menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah yang terakhir. Akhirnya Nabi pun mengawininya, dan Bani Almustalaq pun masuk islam.

9. SAFIYYA BINT HUYAYY: Dia adalah dari kelompok Jahudi Bani Nadir. Dia sudah menikah dua kali sebelumnya, dan kemudian menikahi Nabi SAW. Cerita nya cukup menarik, mungkin Insha Allah disampaikan terpisah.

10.UMMU HABIBA BINT SUFYAN: Suami pertamanya adalah Aubed Allah Jahish. Dia adalah anak dari Bibi Rasulullah SAW. Aubed Allah meninggal di Ethiopia. Raja Ethiopia pun mengatur perkawinan dengan Nabi SAW. Dia sebenarnya menikah dengan nabi SAW pada 1 AH, tapi baru pada 7 A.H pindah dan tinggal bersama Nabi SAW di Madina, ketika nabi 60 tahun dan dia 35 tahun.

11.MAYMUNA BINT AL-HARITH: Dia masih berumur 36 tahun ketika menikah dengan Nabi Muhammad SAW yang sudah 60 tahun. Suami pertamanya adalah Abu Rahma Ibn Abed Alzey. Ketika Nabi SAW membuka Makkah di tahun 630 A.D, dia datang menemui Nabi SAW, masuk Islam dan meminta agar Rasullullah mengawininya. Akibatnya, banyaklah orang Makkah merasa terdorong untuk merima Islam dan nabi SAW.

12.MARIA AL-QABTIYYA: Dia awalnya adalah orang yang membantu menangani permasalahan dirumah Rasullullah yang dikirim oleh Raja Mesir. Dia sempat melahirkan seorang anak yang diberi nama Ibrahim. Ibrahim akhirnya meninggal pada umur 18 bulan. Tiga tahun setelah menikah, Nabi SAW meninggal dunia, dan akhirnya meninggal 5 tahun kemudian, tahun 16 A.H. Waktu itu, Umar bin Khatab yang menjadi Iman sholat Jenazahnya, dan kemudian dimakamkan di Al-Baqi.

Itu saja sedikit penjelasan mengenai perkawinan Rasullulah, jika ada yang ingin berkomentar dipersilahkan dan jika ingin melakukan sunnah Rasullulah seperti tersebut di atas, ya monggo mawon.

8 comments:

Anonymous said...

Seperti kita ketahui, perkawinan Nabi memang penuh dengan tujuan yang mulia, dan kalo dibaca ulasan yang disampaikan semua bertujuan untuk IBADAH, jadi apabila para lelaki melakukan perkawinan untuk beberapa kali dengan niatan IBADAH barulah bisa diterima akal. tetapi tidak ada manusia manapun yang bisa menandingi tabiat NABI Besar Muhammad SAW, so jangan pernah coba coba melakukan perkawinan lebih dari satu karena akibatnya bukan IBADAH tetapi MALAPETAKA.

Aris Heru Utomo said...

Bu Yana,
Biasanya memang kaum pria muslim melihat pernikahan Rasullulah hari dari segi jumlahnya saja dan diambil yang enaknya saja bahwa seolah-olah setiap pria muslim dibenarkan menikah lebih dari satu. Bagi orang non-muslim, segi jumlah ini pula yang menjadi amunisi untuk menyerang perilaku poligami, tanpa (lagi2) melihat alasan yang sesungguhnya dibalik poligami Rasullulah.

Btw salam untuk pak Haji Dede, kapan bowling lagi?

Salam
Aris

Sugianto said...

Rasullulloh berpoligami setelah isteri pertamanya meninggal. Dan perkawinan selanjutnya adalah untuk menolong dan ibadah.

Hayo, tanyaken kenapa Poligamier modern berpoligami ? mau gak kawin ama nenek-nenek miskin :)

Aris Heru Utomo said...

Bener to, Rasullulah berpoligami karena beribadah. Kalau poligamier sekarang beda alasannya.

Mungkin alasannya bisa ditanyakan ke pemilik ayam bakar wong solo kali ya ? atau barangkali ke mensesneg yg baru menikah lagi, mungkin aja mantan istrinya menolak dipoligami, jadi pilih cerai.

Anonymous said...

Saya ingin tahu usia Aisha saat menikah dengan nabi? saya pernah mendengar usia beliau 6 tahun dan baru berhubungan bada pada usia 9 tahun. Meskipun dikatakan sudah dapat bertanggung jawab ttg pernikahan, bukankah itu usia yang sangat muda untuk pernikahan? Juga tidak sehat bagi alat reproduksi sang istri (menurut kesehatan) ?Apakah ini gejala phedophilia?

Cuteklara said...

Hello mo ksh copy-an aja dr yg pernah kubaca ttg Arti poligami sebenarnya dari keluarga mahasiswa kalimantan Mesir..
Rasulullah bersabda yang artinya : “Hai pemuda-pemuda, barang siapa di antara kamu yang mampu serta berkeinginan hendak menikah, hendaklah dia menikah. Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat merundukkan pandangan mata terhadap orang yang tidak halal dilihatnya, dan akan memeliharanya dari godaan syahwat. Dan barang siapa yang tidak mempu menikah, hendaklah dia puasa, karena dengan puasa hawa nafsunya terhadap perempuan akan berkurang.”1

Nikah adalah salah satu azas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan antar masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum yang lain dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara yang satu dengan yang lainnya. Pernikahan dapat mewujudkan kemaslahatan pribadi maupun masyarakat umum.

Sedangkan poligami adalah perkawinan antara seseorang dengan dua orang atau lebih. Namun, cenderung diartikan perkawinan seorang suami dengan dua istri atau lebih.

Allah SWT. Berfirman di dalam Al-Qur'an sebagai berikut : Nikahilah oleh kalian wanita-wanita (lain) yang kalian senangi dua, tiga, atau empat. Akan tetapi jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil, maka nikahilah seorang saja atau nikahilah budak-budak yang kalian miliki. Hal itu adalah lebih dekat pada sikap tidak berbuat aniaya.2

Terdapat tiga bentuk poligami, yaitu Poligini (seorang pria memiliki beberapa istri sekaligus), Poliandri adalah perkawinan lebih dari satu laki-laki (suami) sekaligus, dan Pernikahan Kelompok (bahasa Inggris: group marriage, yaitu kombinasi poligini dan poliandri).3 Ketiga bentuk poligami tersebut ditemukan dalam sejarah, namun poligini merupakan bentuk yang paling umum terjadi.

Sejak kabar tentang pernikahan kedua AA Gym dengan seorang wanita yang bernama Rini Afriani, pro dan kontra mengenai poligami terus didiskusikan dalam berbagai forum. Ada yang setuju, ada pula yang tidak setuju. Ada pula yang bingung. Ada yang mendasarkan kesetujuannya terhadap poligami pada kitab suci yang diyakini. Ada yang kontra terhadap poligami karena melihat sifat manusia yang sulit sekali (untuk tidak mengatakan tidak mungkin) bersikap adil terhadap dua orang. Begitulah, diskusi di masyarakat berlangsung terus.

Sebenarnya poligami sudah lahir jauh sebelum zaman kedatangan agama Islam. Boleh dibilang bahwa poligami itu bukan semata-mata produk syariat Islam. Jauh sebelum Islam lahir di tahun 610 masehi, peradaban manusia di penjuru dunia sudah mengenal poligami, menjalankannya dan menjadikannya sebagai bagian utuh dari bentuk kehidupan yang nyata. Bahkan boleh dibilang bahwa tidak ada peradaban manusia di dunia ini di masa lalu yang tidak mengenal poligami. Dalam kitab orang Yahudi perjanjian lama, Daud disebutkan memiliki 300 orang isteri, baik yang menjadi isteri resminya maupun selirnya.4

As-Sayyid Sabiq dengan mengutip kitab Hak-hak Wanita Dalam Islam karya Dr. Ali Abdul Wahid Wafi menyebutkan bahwa poligami merupakan gaya hidup yang diakui dan berjalan dengan lancar di pusat-pusat peradaban manusia. Bahkan bisa dikatakan bahwa hampir semua pusat peradaban manusia, telah mengenal poligami dan mengakuinya sebagai sesuatu yang normal dan formal.

As-Sayyid Sabiq menyebutkan bahwa peradaban maju seperti Ibrani yang melahirkan bangsa Yahudi mengenal poligami. Begitu juga dengan peradaban Shaqalibah yang melahirkan bangsa Rusia. Termasuk juga negeri Lituania, Ustunia, Chekoslowakia dan Yugoslavia, semuanya sangat mengenal poligami. Sehingga jelaslah bahwa poligami adalah produk umat manusia, produk kemanusiaan dan produk peradaban besar dunia.5 Islam hanyalah salah satu yang ikut di dalamnya dengan memberikan batasan dan arahan yang sesuai dengan jiwa manusia.
Dalam kitab Ibn al-Atsir, poligami yang dilakukan Rasulullah adalah upaya transformasi sosial.6 Mekanisme poligami yang diterapkan Rasulullah merupakan strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi masyarakat Arab pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka.

Sebaliknya, yang dilakukan Rasulullah adalah membatasi praktik poligami, mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku adil dalam berpoligami.

Ketika Rasulullah melihat sebagian sahabat telah mengawini delapan sampai sepuluh perempuan, mereka diminta menceraikan dan menyisakan hanya empat. Itulah yang dilakukan Rasulullah kepada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi RA, Wahb al-Asadi, dan Qais bin al-Harits. Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda, "Pilihlah 4 orang dari mereka dan ceraikan sisanya."7 Dan, inilah pernyataan eksplisit dalam pembatasan terhadap kebiasan poligami yang awalnya tanpa batas sama sekali.

Islam memberikan ruang pelaksanaannya, tapi harus penuh dengan kehati-hatian. Ada aspek kuantitatif, dan ada pula kualitatif. Namun yang sering dimunculkan hanya aspek kuantitatifnya, hanya menghitung dua, tiga atau empat, tetapi aspek kualitatifnya pada pemberian rasa adil, itu seringkali diabaikan. laki-laki harus melihat persyaratan kualitatif yang oleh Al-Quran tidak mudah untuk dilaksanakan, pada tataran pemberian keadilan di antara para isteri.
Pada banyak kesempatan, Rasulullah justru lebih banyak menekankan prinsip keadilan berpoligami. Dalam hal ini, Abu Hurairah r.a menuturkan bahwa Rasulullah pernah bersabda sebagai berikut, yang artinya : "barangsiapa yang mempunyai dua orang istri , lalu ia bersikap condong kepada salah satu di antara mereka, niscaya ia akan datang pada hari kiamat nanti sambil menyeret sebelah pundaknya dalam keadaan terputus atau condong". Bahkan, dalam berbagai kesempatan, Rasulullah menekankan pentingnya bersikap sabar dan menjaga perasaan istri.
Teks-teks hadis poligami sebenarnya mengarah kepada kritik, pelurusan, dan pengembalian pada prinsip keadilan. Dari sudut ini, pernyataan poligami itu sunah sangat bertentangan dengan apa yang disampaikan Rasulullah. Apalagi dengan melihat pernyataan dan sikap Rasulullah yang sangat tegas menolak poligami Ali bin Abi Thalib RA. Anehnya, teks hadis ini jarang dimunculkan kalangan propoligami. Padahal, teks ini diriwayatkan para ulama hadis terkemuka: Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibn Majah.

Rasulullah marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad SAW, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib RA. Ketika mendengar rencana itu, Rasulullah pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: "Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilahkan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga."8
Jika pernyataan Rasulullah ini dijadikan dasar, maka bisa dipastikan yang sunah justru adalah tidak mempraktikkan poligami karena itu yang tidak dikehendaki Rasulullah. Dan, Ali bin Abi Thalib RA sendiri tidak berpoligami sampai Fathimah RA meninggal.

Begitu juga dengan Rasulullah sendiri nyatanya, sepanjang hayat beliau, Rasulullah lebih lama bermonogami daripada berpoligami. Bayangkan, monogami dilakukan Rasulullah di tengah masyarakat yang menganggap poligami adalah lumrah. Rumah tangga Rasulullah bersama istri tunggalnya, Khadijah binti Khuwalid RA, berlangsung selama 28 tahun. Baru kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Rasulullah berpoligami. Itu pun dijalani hanya sekitar delapan tahun dari sisa hidup beliau. Dari kalkulasi ini, sebenarnya tidak beralasan pernyataan poligami itu sunah. Jika memang dianggap sunah, mengapa Nabi tidak melakukannya sejak pertama kali berumah tangga?

Syekh Muhammad Abduh dari Universitas Al-Azhar, Mesir, menyatakan, poligami adalah penyimpangan dari relasi perkawinan yang wajar, namun menikahi wanita lebih dari satu hanya dibenarkan secara syar’i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang, dengan syarat tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman.9
Namun, jika argumen agama akan digunakan, maka sebagaimana prinsip yang dikandung dari teks-teks keagamaan itu, dasar poligami seharusnya dilihat sebagai jalan darurat. Dalam kaidah fikih, kedaruratan memang diperkenankan. Ini sama halnya dengan memakan bangkai; suatu tindakan yang dibenarkan manakala tidak ada yang lain yang bisa dimakan kecuali bangkai.

Dalam karakter fikih Islam, sebenarnya pilihan monogami atau poligami dianggap persoalan umum. Predikat hukumnya akan mengikuti kondisi ruang dan waktu. Perilaku Nabi sendiri menunjukkan betapa persoalan ini bisa berbeda dan berubah dari satu kondisi ke kondisi lain. Karena itu, pilihan monogami atau poligami bukanlah sesuatu yang prinsip. Yang prinsip adalah keharusan untuk selalu merujuk pada prinsip-prinsip dasar syariah, yaitu keadilan, membawa kemaslahatan dan tidak mendatangkan mudarat atau kerusakan (mafsadah).

Dan, manakala diterapkan, maka untuk mengidentifikasi nilai-nilai prinsipal dalam kaitannya dengan praktik poligami ini, semestinya perempuan diletakkan sebagai subyek penentu keadilan. Ini prinsip karena merekalah yang secara langsung menerima akibat poligami. Dan, untuk pengujian nilai-nilai ini haruslah dilakukan secara empiris, interdisipliner, dan obyektif dengan melihat efek poligami dalam realitas sosial masyarakat.

Dan, ketika ukuran itu diterapkan, sebagaimana disaksikan Muhammad Abduh, ternyata yang terjadi lebih banyak menghasilkan keburukan daripada kebaikan. Karena itulah Muhammad Abduh kemudian meminta pelarangan poligami.

Dalam konteks ini, Muhammad Abduh menyitir teks hadis Rasulullah: "Tidak dibenarkan segala bentuk kerusakan (dharar) terhadap diri atau orang lain."10 Ungkapan ini tentu lebih prinsip dari pernyataan poligami itu sunah.

Anehnya, ayat tersebut (Surat Nisa 3) bagi kalangan yang propoligami dipelintir menjadi "hak penuh" laki-laki untuk berpoligami. Dalih mereka, perbuatan itu untuk mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW. Menjadi menggelikan ketika praktik poligami bahkan dipakai sebagai tolok ukur keislaman seseorang : semakin aktif berpoligami dianggap semakin baik posisi keagamaannya. Atau, semakin bersabar seorang istri menerima permaduan, semakin baik kualitas imannya. Slogan-slogan yang sering dimunculkan misalnya, poligami membawa berkah, atau poligami itu indah, dan yang lebih populer adalah poligami itu sunah. Selain itu, ungkapan poligami itu sunah merupakan final bagi mereka.

Nikah saja, menurut fikih, memiliki berbagai predikat hukum, tergantung kondisi calon suami, calon istri, atau kondisi masyarakatnya. Nikah bisa wajib, sunah, mubah (boleh), atau sekadar diizinkan. Bahkan, Imam al-Alusi dalam tafsirnya, Rûh al-Ma'âni, menyatakan, nikah bisa diharamkan ketika calon suami tahu dirinya tidak akan bisa memenuhi hak-hak istri, apalagi sampai menyakiti dan mencelakakannya. Demikian halnya dengan poligami. Karena itu, Muhammad Abduh dengan melihat kondisi Mesir saat itu, lebih memilih mengharamkan poligami.

Oleh karena itu, kaum muslimin harus diingatkan bahwa : yang dipandang terpuji adalah semua yang memang di puji oleh syariat, dan yang tercela adalah semua yang memang dicela oleh syariat; yang dibolehkan oleh syariat merupakan perkara yang terpuji, dan yang dilarang adalah perkara yang tercela. Kaum muslimin juga harus diingatkan bahwa poligami telah dibolehkan oleh syariat. Jika Al-Qur’an telah menyebut kebolehannya, berarti perbuatan semacam ini dipandang sebagai tindakan yang terpuji.

Harus ada kejelasan bahwa, Islam tidak menjadikan poligami sebagai sebuah kewajiban atau hal yang disunnahkan bagi muslim, tetapi hanya menjadikannya sebagai sesuatu yang mubah, yakni boleh dilakukan jika memang perlu oleh mereka. Realitas semacam ini mengandung pengertian bahwa, syariat Islam telah memberikan kepada manusia poligami suatu pemecahan yang boleh mereka praktekkan jika memang mereka membutuhkannya, serta telah membolehkan mereka untuk tidak terjerumus kelembah perzinahan yang di haram kan oleh agama.

Dengan demikian, adanya kebolehan poligami -bukan wajib dan sunah- telah menjadikan poligami sebagai jalan keluar yang paling layak, yang berada dalam kewenangan manusia itu sendiri, bagi manusia atau masyarakat.

Wallahu a'lam bishshawab,

http://www.kmkm.us/content/view/49/1/

diNAa said...
This comment has been removed by the author.
diNAa said...

Asw..
untuk 'anonymous'
Jika Allah SWT mengingnkan segala suatu hal, apapun bisa terjadi. jangan samakan zaman qta sekarang dengan zaman Baginda Rasullullah saw.SangaT Jauh Berbeda! secara kematangn pribadi, jelas qta berbeda dengn orang2 di zaman Rasulullah. para mujahidn2 bersama Rasulullah adalah orang2 yang tangguh, pemberani, fisabilillah, orang2 yang setia terhadap pemimpinnya, Rasulullah saw.

mengenai usia istri nabi, aisyah yang berumur 9 tahun, jng disamakan dengan anak zaman skrg yg usianya 9 tahun. sangat jauh berbeda!
sepengetahuan saya yg saya baca dari buku sirah nabawiyah, itu sangat jelas sekali menggambarkan bagaimana nabi muhammad saw beserta sahabat2 beliau dalam berperang, berjuang, berdakwah,dengan segala keadaan yang minoritas hingga akhirnya dengan ridho Allah SWT islam menjadi jaya di seantero jazirah Arab hingga seluruh muka bumi seperti yang qta lihat skrg ini. Subhanallah!Allahuakbar!
Dengan keadaan seperti itu membuat mental se2orang itu mnjd lebih dewasa, berani, tangguh.Dari sisi psikologi, Jelas berbeda!

kita kaji dari ilmu pengethuan. secara phisiclly org arab umumnya tinggi2& besar2. zaman dahulu tidak ada istilah suntik hormon, konsumsi pil, hanya untuk menambah kesuburan, knapa? bukannya krn mereka blm mengnl istilah itu, tetapi krn orng zaman dahulu memiliki raga yg kuat dan sehat, termasuk dari segi reproduksi. hal ini dapat diamati dari pola hidup, termasuk makanan, yg qta tau skr makann hampir smuanya memakai bahan pengawet,blm lg polusi asap,industri, dll yang scr tidak lgsng mempengaruhi sistem metabolisme di dlm tubuh, termasuk hormon reproduksi.

dari segi ini saja qt dapat melihat perbedaan yang nyata antara zaman Rasulullah saw dengan zaman qt skrg. blm lagi pertolongn yg Allah berikan. Allahuakbar!

mari qt baca lagi ttg sejarah Nabi Muhammad Saw, carilah kebenaran, jng hanya mendengar dari orang2 yang dangkal pikirannya, apalagi mengambil makna hadist sepotong2 ( ini biasanya org yang bodoh lagi malas, bodoh krn cm tw kulit luarnya aj, mls krn tidak ingin tahu apa isi dlamnya)


Wassalam..