2.1.11

Belajar dari Alfred Riedl

Perebutan Piala Suzuki ASEAN Federation Footbal (AFF) 2010 telah berakhir. Malaysia tampil sebagai juara setelah mengalahkan Indonesia dengan agregat gol 4-2. Indonesia sendiri meski gagal meraih piala, tetap merebut simpati penuh masyarakat Indonesia berkat penampilan tim nasional (timnas) Indonesia yang ciamik selama kejuaraan.

Keberhasilan timnas bermain bagus yang berbuah dukungan penuh masyarakat tentunya tidak datang begitu saja, melainkan terjadi berkat adanya kerjasamanya tim dengan komandan yang tepat di posisinya. Jika dalam penggunaan senjata dikenal istilah the man behind the gun yang memberi makna tentang pentingnya peranan manusia dalam mengoperasikan senjata, maka dalam sepakbola dikenal istilah the man behind the team yaitu pelatih yang berperan mengelola suatu kesebelasan pada saat sebelum, ketika dan selesai pertandingan. Pelatih adalah orang pertama yang memiliki kewenangan untuk mengatur taktik dan strategi permainan. Perannya tidak bisa dicampuri oleh seorang manajer tim ataupun pengurus organisasi sepakbola.

Untuk itu jika ditanya siapakah orang yang tepat menjadi komanda timnas dan berada dibalik kesuksesan tim nasional Indonesia maka orang pertama yang pantas mendapatkan kredit tersebut adalah Alfred Riedl, sang pelatih timnas Indonesia. Pria berusia 61 tahun dan berkebangsaan Austria ini dikenal memiliki sikap tegas dan disiplin serta bertangan dingin dalam meracik keahlian pemain-pemain timnas dalam satu tim yang solid.

Ketegasan dan kedisiplinan Riedl antara lain dapat dilihat saat mulai melaklukan pemilihan anggota timnas. Dengan tegas ia mencoret Boaz Salosa yang dianggapnya kurang disiplin. Ia pun lebih memlih pemain-pemain muda yang memiliki komitmen. Saat pertandingan pun ia kerap kali terlihat mengingatkan anak asuhnya untuk terus berkonsentrasi dan bermain seperti yang telah digariskan. Ketegasan dan kedisiplinannya juga diperlihatkan kala menolak undangan yang tidak terkait langsung dengan persiapan timnya seperti undangan istigosah di Jakarta ataupun makan malam di Kuala Lumpur.

Bahwa Riedl dikenal penuh disiplin diakui sendiri oleh beberapa pemain nasional seperti Okto Maniani. Menurut Okto, Riedl memiliki disiplin tinggi mulai dari latihan hingga makan bersama. Saking disiplinnya ia menerapkan denda uang bagi pemainnya yang datang terlambat. Uang denda yang sudah terkumpul kemudian disumbangkan ke panti asuhan, masjid atau gereja atas nama timnas.

Sikap kedisiplinan Riedl juga diceritakan salah seorang pemijat timnas bernama Mohammad Sudir. Ketika diwawancara salah satu stasiun televisi, Sudir bercerita bahwa suatu ketika ia tengah berada di belakang gawang bersama pelatih kiper tanpa mengenakan pakai seragam timnas. Sontak Sudir dipanggil Riedl dan ditanyakan alasannya kenapa ia tidak mengenakan seragam timnas, padahal ia sudah menjadi staf di timnas. Setelah mengetahui alasan bahwa Sudir baru saja bergabung ke dalam timnas dan belum mendapatkan kaos seragam, maka Riedl pun meminta bagian logistik untuk menyiapkan kaos seragam untuk Sudir sehingga tidak ada alasan lagi bagi Sudir untuk tidak mengenakan seragam.

Dari contoh-contoh diatas, tindakan Riedl sepintas terlihat sederhana. Namun dari kesederhanaan tersebut setidaknya ada dua hal yang bisa dipetik dan dijadikan pembelajaran bagi masyarakat Indonesia yaitu masalah ketegasan dan kedisiplinan waktu dan aturan. Bukan hal yang aneh jika kedua masalah tersebut merupakan sesuatu yang sangat longggar di negeri ini. Kita mengenal adanya istilah jam karet karena sering mulurnya waktu yang dijanjikan. Sementara adanya istilah bisa diatur merujuk pada betapa mudahnya mempermainkan aturan.

Dalam hal rendahnya kedisiplinan waktu masyarakat Indonesia, saya punya pengalaman khusus yang berhubungan dengan blogger, khususnya blogger di lima kota yang pernah saya kunjungi yaitu Surabaya, Solo, Bekasi, Ambon dan Makassar. Di Surabaya saya pernah harus memundurkan suatu kegiatan hingga satu jam lebih karena blogger yang diundang terlambat hadir dengan berbagai alasan. Sementara di Solo, Bekasi, Ambon dan Makassar meski tidak selambat Surabaya tetap saja terjadi keterlambatan hingga setengah jam lebih. Bagi si blogger keterlambatan menghadiri suatu acara mungkin bisa dianggap sebagai hal yang biasa, tapi bagi panitia, terlambatnya acara berakibat pada perlunya penyesuaian waktu agar sesuai dengan program yang direncanakan.

Dalam masalah aturan, sering kita melihat bahwa dengan mudahnya kita sering melanggar aturan. Beberapa contoh kecil bisa kita lihat dalam di lingkungan sekitar kita. Di jalan raya, pengendara sepeda motor dengan seenaknya melabrak lampu perlintasan ketika sudah berwarna merah atau menyelonong di jalur jalan yang bukan semestinya. Di trotoar jalan, kita juga mudah menemukan trotoar digunakan sebagai tempat berjualan pedagang kaki lima, akibatnya pengguna jalan tergeser dan mesti menggunakan jalur yang tidak semestinya. Sementara itu ketika mengantri, kita lebih senang berdesak-desaknya meski jalur antrian sudah disiapkan.

Ketika menerapkan ketegasan dan kedisiplinan waktu dan aturan, Riedl mungkin hanya berpikir tentang strategi kepelatihannya dan tidak peduli pendapat orang lain tentang dirinya. Tapi dari apa yang dilakukan Riedl yang bekerja tanpa banyak bicara, kita bisa belajar tentang arti ketegasan dan kedisiplinan. Riedl memperlihatkan bahwa ketegasan dan kedisiplinan yang dimulai dari sendiri diperlukan untuk mencapai suatu target, Dengan ketegasan dan kedisiplinan, kita bisa berprestasi dan mencapai apa yang diinginkan. Tanpa itu jangan bermimpi bisa berprestasi dan menjadi pemenang. Hanya pemenanglah yang selalu layak memperoleh penghargaan, sementara pecundang terpinggirkan. “There are no alibis, Winner takes it all, Loser takes a fall ” begitu kata Sammy Hagar dalam tembang “Winner Takes It All ” yang menjadi soundtrack film “Over the Top ” yang dibintangi Silvester Stallone di tahun 1987.

No comments: