4.10.09

Ketika Petugas Tol Berbatik

Jumat 2 Oktober 2009 sepertinya menjadi hari yang istimewa dimana banyak orang ramai-ramai mengenakan batik. Para kaum lelaki yang mengenakan batik terlihat lebih ganteng dan rapih, adapun kaum perempuannya semakin cantik dalam balutan batik. Seorang teman yang jarang mengenakan batik sampai berkomentar “wah rupanya hari ini ada resepsi nasional ya sehingga banyak yang berbatik”.

Sebenarnya hari Jumat tersebut tidak ada hajatan nasional, masyarakat Indonesia justru sedang bersedih dengan musibah gempa yang menimpa saudara-saudaranya di Padang, Jambi dan berbagai wilayah lain di Sumatera. Namun hari Jumat tersebut dirayakan dengan mengenakan batik secara serempak guna menyambut penetapan UNESCO yang menyatakan batik sebagai warisan budaya dunia yang berasal dari Indonesia. Masyarakat Indonesia patut bergembira karena akhirnya batik diakui sebagai warisan Indonesia alias milik Indonesia.

Dari sekian banyak anggota masyarakat Indonesia yang mengenakan batik, salah satunya adalah Mas Abdurrachman, petugas pintu tol Pondok Gede Timur. Jika pada hari-hari biasa Mas Abdurrachman mengenakan seragam biru muda khas Jasa Marga, maka pada hari itu ia mengenakan batik warna coklat. Nampaknya batik tersebut masih baru dan hanya dipakai khusus pada hari Jumat tersebut.

Sebetulnya saya ingin bertanya lebih lanjut mengenai alasannya ikutan berbatik di hari Jumat tersebut, tapi karena antrian kendaraan di belakang sudah memanjang, dari pada diklakson rama-ramai, saya putuskan hanya untuk mengambil gambarnya. Bukankah lewat gambar kita juga bisa bercerita lebih banyak ?

Dari gambar yang diambil sepersekian detik, terlihat Mas Abdurrachman yang sedang tersenyum. Tampaknya ia sangat gembira bisa turut serta dalam hari batik dan memperlihatkan kecintaannya akan salah satu produk budaya nasional.

Respon yang luar biasa seperti yang diperlihatkan mas Abdurrachman kiranya patut diapresiasi dengan baik. Namun seperti kebiasaan masyarakat kita yang cenderung bersikap responsif dalam menanggapi suatu permasalahan dan hangat-hangat tahi ayam dalam melakukan sesuatu, maka saya berharap agar “batik day” tidak diartikan secara sempit yaitu berbatik ke kantor hanya pada tanggal 2 Oktober alias setahun sekali.

Makna “batik day” hendaknya dipahami secara lebih luas sebagai upaya untuk mewarisi budaya nasional. Sebagai ahli waris yang sah, masyarakat Indonesia tentunya dapat memelihara tradisi membuat dan mengenakan batik dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya berbatik ketika ada klaim dari negara lain.

Kenapa hal di atas saya kemukakan ? karena dari pengamatan sekilas, tampak masih ada keterpaksaan dari sebagian anggota masyarakat dalam berbatik ke kantor atau kegiatan lainnya. Sebagai contoh, dalam bincang-bincang di sebuah stasiun radio, seorang pendengar dengan polos mengatakan bahwa ia berbatik ke kantor karena ada perintah dari atasannya dan kalau ia menolak mengenakan batik, ia khawatir gajinya akan dipotong.

Saya yakin apa yang disampaikan pendengar radio tersebut jujur dan saya yakin apa yang dikemukakannya mewakili orang-orang yang terpaksa berbatik, terutama saat berkantor. Mereka mungkin kurang nyaman dan merasa batik hanya cocok untuk acara resepsi. Padahal kalau kita melihat busana batik dewasa ini, maka kita akan melihat bagaimana batik telah dikemas lebih gaul dan cocok digunakan dalam berbagai kesempatan. Bahkan bagi mereka yang terbiasa nge-jeans, batik pun bisa dipadukan penggunaannya.

Lebih jauh, dengan mengenakan batik dalam kegiatan sehari-hari, kita bukan saja memelihara budaya nasional, tetapi pada saat bersamaan menghidupkan perekonomian khususnya industri batik. Pengerajin batik akan tertolong dengan besarnya pesanan yang terus masuk dan tidak khawatir pasar batik dikuasai asing. Disini terlihat adanya guliran-guliran dari penggunaan batik dan bukan sekedar mewarisi tanpa memberikan nilai ekonomis ataupun nilai tambah lainnya.

Dengan alasan tersebut di atas, maka sebenarnya tidak ada alasan untuk hanya berbatik (ke kantor) setahun sekali. Setiap minggu kita bisa berbatik, bahkan jika perlu 2-3 hari dalam seminggu. Sehingga kita bisa ber”batik day” setiap minggu. Bukankah begitu rekan-rekan ?



1 comment:

Daniel DPK said...

setuju mas dengan pendapatnya seputar batik..jangan hanya pemakaian batik secara massal dilakukan pada moment tertentu atau hanya untuk memperingati pengakuan unesco aja..bila perlu setiap hari aja ya mas..he..he..
btw, gimana kalo polisi suruh pakai batik aja mas, biar nggak serem kelihatannya...he..he.
THINK OUT OF THE BOX