Karikatur disamping dimuat dalam majalah the Economist edisi 12 Mei 2005, untuk menggambarkan kesulitan Turki untuk dapat segera menjadi anggota Uni Eropa (UE). Saat itu Perdana Menteri Turki, Recep Tayyip Erdogan dipandang tidak dapat membawa negaranya untuk memulai negosiasi sebagai anggota UE. Penyebabnya antara lain saratnya beban yang harus ditanggung seperti isu HAM, Cyprus hingga opini publik di UE sendiri.
Kini di awal tahun 2007, setelah proses negosiasi resmi dimulai sejak tanggal 3 Desember 2005, ternyata prosesnya tidak semulus proses negosiasi UE dengan 12 negara-negara Eropa Timur, Tengah dan Mediteranian. Negosiasi UE dengan ke-12 negara tersebut sejak awal tidak memperlihatkan hambatan yang berarti. Berbeda dengan Turki yang sejak awal dihadapkan dengan berbagai isu seperti tersebut di atas. Bahkan saratnya isu-isu sensitif menyangkut Turki, mendorong para kepala negara anggota UE dalam pertemuannya di Brussel tanggal 14-15 Desember 2006 lalu, untuk menunda proses negosiasi yang telah berlangsung selama setahun.
Dalam pertemuan tingkat kepala negara tersebut, para pemimpin negara anggota UE sepakat untuk menunda negosiasi terhadap 8 bab (dari 35 bab yang dirundingkan), yang menjadi dasar bagi perundingan selanjutnya. Beberapa isu sensitif yang terkait antara lain adalah mengenai Cyprus, dimana UE mendesak Turki untuk mengakui Republik Cyprus, menarik sekitar 40 ribu pasukannya yang menduduki bagian utara pulau Cyprus, mencabut embargo kapal-kapal dan pesawat Cyprus berdasarkan Protokol Ankara, serta menyelesaikan sengketa Cyprus dalam kerangka PBB.
Masalah lain yang disorot adalah demokratisasi, dimana UE menyoroti perlunya kebebasan berbicara, terutama dikaitkan dengan pasal 31 hukum pidana Turki, yang memungkinkan dilakukannya tuntutan hukum atas dasar ”penghinaan” bagi orang-orang yang sering mengkritik pemerintah Turki. Selanjutnya Turki juga dinilai masih enggan untuk melakukan pembicaraan mengenai kasus genocide di Armenia, menekan kebebasan beragama dengan memaksakan sekularisme dan menekan hak-hak suku minoritas khususnya suku Kurdi dan Muslim Suni.
Ditonjolkannya isu-isu yang hingga kini menjadi keberatan di pihak Turki, merupakan langkah cerdik UE dalam merespon keinginan sebagian negara anggotanya untuk menunda masuknya Turki ke dalam UE. Mereka yang menginginkan penundaan umumnya beralasan mengenai perlunya UE untuk memprioritaskan penuntasan masalah internal, seperti masa depan Konstitusi UE pasca penolakan oleh masyarakat Perancis dan Belanda atau penyelerasan ketimpangan ekonomi antara negara anggota UE sendiri. UE dengan cerdik pula tidak menonjolkan isu agama dan budaya (Islam) sebagai alasan penundaan.
Dengan kenyataan tersebut, Turki harus menuggu lebih lama lagi sebelum memperoleh kepastian diterima sebagai negara anggota UE. Catatan bahwa Turki merupakan negara pertama yang mengajukan diri sebagai anggota pada tahun 1959, tidak memiliki arti apa pun, selain menggambarkan bahwa Turki telah menanti di ”ruang tunggu” selama lebih dari empat dekade. Dan catatan mengenai kesabaran Turki tersebut tampaknya masih harus dibuktikan lagi untuk setidaknya 10-15 tahun ke depan. Tidak ada jalan lain bagi Turki selain mengikuti satu per satu tahapan yang telah ditetapkan, tanpa perlu melakukan langkah-langkah provokatif yang justru akan menjadi kontra produktif.
1 comment:
wah ... makin mantab nih sudah fokus ke EU
Post a Comment