21.9.06

Antara Grand Place dan Kawasan Kota Tua

Kalau anda berkesempatan mengunjungi Brussels, entah untuk menghadiri pertemuan atau sekedar jalan-jalan, maka tempat wajib yang biasanya dikunjungi adalah kawasan centrum. Di kawasan ini, yang lebih dikenal sebagai Grand Place, dengan cukup berjalan kaki kita dapat menikmati keindahan gedung-gedung tua yang mulai dibangun sejak abad ke-11 dan masih terawat rapih dan berfungsi dengan baik. Diantara gedung-gedung tua tersebut terdapat halaman luas yang sering dipergunakan untuk berbagai kegiatan seperti pertunjukan musik ataupun pameran (salah satunya yang paling terkenal adalah pameran bunga karpet yang digelar setiap dua tahun sekali, seperti terlihat pada foto).
Di sisi timur kawasan Grand Place (sebelah kiri foto), kita bisa menyaksikan sebuah bangunan besar dengan sebuah menara menjulang tinggi yang disebut Hotel de Ville. Meskipun namanya hotel tetapi gedung ini sesungguhnya merupakan kantor Wali kota Brussels dan tempat pencatatan pernikahan sekaligus berfungsi sebagai gereja. Di hadapan Hotel de Ville (sebelah kanan foto), berdiri suatu gedung yang diberi nama the Maison du Roi (rumah raja). Sesuai namanya gedung ini awalnya merupakan tempat tinggal raja, namun setelah raja tidak lagi tinggal disana, gedung ini dijadikan sebagai museum tapistry untuk menyimpan dan memamerkan koleksi tapistry Belgia buatan beberapa abad lampau. Selanjutnya di sebelah selatan (sebelah tengah foto) adalah gedung Le Pigeon dan La Maison des Boulangers yang dulunya merupakan tempat berniaga dan tempat tinggal para saudagar. Kedua gedung tersebut saat ini juga masih berfungsi sama sebagai tempat berniaga yaitu sebagai restoran dan money changer, hanya saja tidak lagi dijadikan tempat tinggal. Terakhir, disebelah utara (tidak tampak pada gambar) adalah gedung yang dinamakan Le Maison des Ducs de Brabant (Rumah Duke Brabant) yang sekarang digunakan sebagai restoran.
Menyusuri jalan kecil persis di sebelah Hotel de Ville akan dijumpai patung perunggu Everard ‘t Serclaes, seorang pahlawan Brussels yang tewas pada abad ke14. Mengelus patung ini diyakini akan membawa keberuntungan dan akan kembali lagi mengunjungi Brussels. Masih di jalan yang sama, hanya beda dua blok, terdapat patung legendaris Mannekin Pis, patung seorang anak kecil sedang (maaf) pipis. Konon ditempat inilah pada abad ke-12 yang lalu, anak seorang bangsawan yang hilang berhasil ditemukan kembali. Kini patung Mannekin Pis ini sangat terkenal dan menjadi salah satu icon wisata kota Brussels.
Lelah melihat-lihat gedung tua, museum dan patung serta berfoto ria, kita bisa rehat sejenak menikmati beragam makanan yang di restoran sekitar Grand Place. Umumnya restoran-restoran tersebut menyediakan masakan khas Eropa seperti steak, spagheti dan hidangan laut. Salah satunya yang sering direkomendasikan adalah restoran Chez Leon. Selain makanannya enak, harganya juga wajar (tidak ngemplang seperti di beberapa restoran lainnya). Konon pula restoran ini sering dikunjungi tokoh terkenal. Menu favorit dari Chez Leon adalah kerang (moules) yang dimasak dengan wine putih plus kombinasi kentang goreng (kata teman saya biar lebih nendang). Selain masakan Eropa, kita juga bisa menikmati makanan khas timur tengah seperti kebab, durum dan pita, yang umumnya dijual oleh pendatang asal Maroko. Sementara kalau ingin lebih menikmati makanan Asia, disekitar kawasan ini juga terdapat restoran China, Thailand, Vietnam dan satu-satunya restoran Indonesia yaitu restoran Garuda. Khusus di restoran Garuda ini bisa dijumpai menu antara lain sate dan soto ayam, gado-gado ataupun pepes ikan. Tapi jangan berharap bisa menikmati gudeg atau sayur asem, karena pemiliknya yang orang Belgia, kebetulan lahir di Sumatera dan lebih banyak mempelajari masakan dari daerah tersebut.
Kalau kita enggan duduk-duduk di restoran, kita juga bisa santai di tengah-tengah lapangan Grand Place sambil menikmati es krim Australia (yang konon es krim ini sendiri tidak di jual di Australia) atau makan wafel yang ditaburi gula halus (yang akan lebih enak jika dimakan saat hangat, apalagi kalau ditambahkan es krim). Selanjutnya sebelum meninggalkan Grand Place, kita bisa sejenak mampir ke toko cindera mata atau ke toko coklat untuk membeli oleh-oleh. Cindera mata yang dijual umumnya berupa kaos, pin, topi, sticker, piring dan gelas bergambar Grand Place atau kalau mau yang agak eksklusif bisa membeli Gobellin tapistry untuk hiasan dinding dan lace (bordiran tangan). Sedangkan untuk coklat, beberapa nama coklat Belgia yang terkenal antara lain adalah Pierre Marcolini, Godiva, Neuhaus dan Leonidas.
Nah kebayang kan betapa menyenangkannya melakukan perjalanan ke Grand Place, kawasan kota tua di centrum Brussels yang mulai didirikan pada abad ke-11. Saya sendiri yang saat ini tinggal di Brussels, belum merasa bosan mengunjungi Grand Place berulang kali. Karena setiap kali ke tempat ini, selalu saja terdapat berbagai kegiatan dan acara yang diselenggarakan pemerintah kota Brussels. Pemerintah kota Brussels tidak selalu mengandalkan warisan kota tua sebagai obyek wisata tetapi juga mengkombinasikan dengan berbagai kegiatan menarik lainnya seperti pameran bunga, pertunjukan musik (yang terkenal dan rutin diadakan setiap tahun adalah Brussels Summer Jazz Festival dan Euritmik) ataupun bazaar berbagai macam produk. Dengan penanganan yang baik semacam itu, tidak mengherankan jika kawasan Grand Place selalu dipadati wisatawan setiap harinya, terutama pada akhir pekan, Sabtu dan Minggu.
Melihat pengelolaan kawasan Grand Place sebagai obyek wisata, saya jadi merasa iri. Sebetulnya kita juga memiliki asset sejarah dan gedung-gedung tua yang tidak kalah menarik dengan gedung-gedung di kawasan Grand Place. Sebagai contoh di Jakarta kita memiliki gedung-gedung tua yang memiliki nilai sejarah di kawasan Kota, yang dulu dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda. Di Kawasan Kota Tua ini antara lain terdapat gedung Balai Kota yang dibangun abad ke-16 dan sekarang menjadi Museum Fatahillah. Di halaman museum terdapat meriam peninggalan Belanda yang dikenal sebagai meriam si Jagur. Konon jika mengusap meriam ini, seorang wanita yang ingin memiliki momongan, maka keinginannya akan terkabul. Ada pula kantor Gubernur VOC, Baton Van Imhoff, yang telah berdiri sejak tahun 1710 dan sekarang menjadi Toko Merah. Selain itu terdapat Jembatan Kota Intan yang dibangun pada tahun 1628, yang bagian tengah jembatan dapat dinaikkan jika terdapat kapal yang akan melintas (dulu katanya sungainya masih bersih dan dapat dipergunakan oleh kapal-kapal ukuran tertentu).
Namun sayangnya pelestarian bangunan-bangunan yang memiliki nilai sejarah tinggi tersebut sangat kurang. Contohnya selain Jembatan Kota Intan yang sudah tidak berfungsi sebagai mana mestinya, sungainya pun kotor dan bau. Kemudian bangunan air mancur yang terdapat di depan gedung Fathillah, yang konon berfungsi sebagai sumber mata air warga setempat, kini rusak dan tidak berfungsi sama sekali. Belum lagi gedung-gedung lain yang telah berubah fungsi dan tidak jelas penataannya. Apalagi kemudian ditambah dengan kondisi lalu lintas yang ruwet tidak karuan dan dipadati beragam kendaraan, mulai dari bus, kendaraan pribadi, motor hingga ojek sepeda.
Keinginan untuk memaksimalkan potensi Kawasan Kota Tua, tampaknya bukan tidak ada, karena seperti dibaca di media massa, pemerintah DKI juga sudah sejak lama berupaya merevitalisasi Kawasan Kota Tua. Aturan hukumnya juga sudah ada yaitu SK Gubernur DKI Jakarta nomor 475/1993 yang menindaklanjuti UU No.5 tahun 1992 mengenai perlindungan terhadap bangunan dan benda cagar budaya. Dalam tataran yang lebih praktis, saya juga pernah baca bahwa Pemerintah Kota Jakarta Barat pernah menyelenggarakan Festival Kesenian Kota Tua dan Pecinan di kawasan Kota. Kegiatan yang dilakukan antara lain ”Plesiran Tempo Doeloe Bank Djadoel di Batavia” dan pawai yang menampilkan barongsai, tanjidor, kuda lumping dan ondel-ondel serta marching band.
Upaya-upaya tersebut diatas sangat baik, namun tentunya perlu lebih digiatkan antara lain dengan merestorasi gedung-gedung tua, merubah suasana Kawasan Kota Tua menjadi lebih hidup dan menjadikannya kawasan bisnis wisata serta melibatkan peran serta masyarakat. Terkait peran serta masyarakat, saya sangat senang ketika membaca berita bahwa di Jakarta telah terbentuk organisasi pecinta kota tua yaitu Jakarta Old Town (JOK) dipimpin Miranda Gultom. Saya berharap organisasi seperti JOK bisa melakukan penataan Kawasan Kota Tua sebagai tempat tujuan wisata sekaligus melestarikan bangunan tua yang memiliki kaitan sejarah perkembangan kota Jakarta. Tapi kapan ya hal tersebut segera terwujud?. Saya sich inginnya cepat-cepat, sehingga jika pada saat nanti kembali ke Jakarta, saya dan keluarga bisa plesiran ke Kawasan Kota Tua dengan nyaman. Ada yang bisa dilihat dan dinikmati, tentu saja tanpa harus mencium bau busuk sampah dan kekhawatiran diserempet motor atau ojek. O iya, kalau ada pejabat Pemda DKI yang ingin mengadakan studi banding ke Brussels, saya bersedia kok menemani. Peace.

No comments: